Kelas Kakap
- Home
- Cerita Dewasa
- Kelas Kakap
Hari Minggu seperti biasa adalah hari yang tidak sibuk, tidak banyak tamu yang datang di hari itu, maklum sebagian besar dari mereka lebih banyak dihabiskan bersama keluarga, kecuali mereka yang sedang dinas keluar kota. hari biasa kuterima rata rata 3-4 tamu tapi kalo di Hari Minggu paling banyak 2 tamu, malah terkadang hanya satu. Selama aku tinggal di hotel tak pernah kulewatkan hari tanpa tamu, tiada hari tanpa tamu. Entah itu karena kepintaran “marketing” Om Lok atau karena kepintaranku melayani tamu, aku tak tahu, tapi sesepi apapun pasti selalu ada laki laki yang memerlukan pelayanan dan kehangatan tubuhku.
Jarum jam baru menunjukkan pukul 7:38 pagi, aku masih terlelap dalam tidur, kemarin tenagaku habis terkuras dengan banyaknya tamu yang memerlukanku, 5 tamu yang datang secara beruntun sejak pagi, hanya berselang tak lebih dari 45 menit tamu berikutnya sudah nongol di depan pintu kamar, benar benar hari yang melelahkan dan baru tidur hampir pukul 3 dini hari.
Telepon berbunyi, biasanya Om Lok membawakan masakan kesukaanku saat Hari Minggu seperti ini sambil menemaniku ngobrol dengan keluarganya, mungkin karena aku primadona yang menjadi andalan utama maka dia memperlakukanku dengan agak istimewa. Ternyata kali ini dia tidak datang, malahan berpesan akan ada tamu pagi ini, sekitar jam 10 dia akan datang. Mataku masih berat, tubuhku terasa habis memikul beban berat, capek semua rasanya, tulangku seakan copot. Sebenarnya aku berencana memanggil Massage Service yang ada di hotel pagi itu, tapi keduluan instruksi dari Om Lok, dan seperti biasanya aku tak mungkin menolak.
Ingin kulanjutkan tidurku tapi aku takut kebabalasan, biasanya kalo Minggu begini aku memang bangun telat terkadang jam 10 bahkan jam 11, toh biasanya tamu akan datang setelah jam 12 atau bahkan sore.
Sambil ngedumel menahan kantuk yang masih bergelayut aku mandi, kurendam tubuhku dalam air hangat di bathtub, terasa nyaman. Pelarianku dalam capek adalah berendam di air panas, bisa lebih 30 menit kulakukan itu, kali ini aku ingin berendam lebih lama sambil mencoba aroma therapy rempah rempah yang diberi tamuku kemarin.
Pukul 9:50 ternyata tamuku sudah datang, diluar dugaanku ternyata orangnya relativ masih muda, tak lebih 40 tahun, penampilan simpatik dan cukup ganteng dibanding tamu lainnya. Aku terpesona akan penampilannya, beruntunglah aku hari ini, teriak hatiku, langsung hilang rasa capek yang masih menggelayutiku. Namanya Jevon, aku tak tahu apakah dia chinesse atau bukan, karena kulitnya yang kecoklatan tapi matanya sipit, tapi kini aku tak peduli lagi siapa tamuku.
Karena masih pagi, kami tidak terburu buru, bahkan masih sempat makan pagi bersama di kamar, kulayani dia sarapan seperti layaknya seorang istri yang melayani suaminya di meja makan, aku begitu antusias karena teringat saat saat indah dulu, suatu rutinitas membosankan saat itu tapi sungguh terasa mambahagiakan kalau aku mengingatnya. Sudah lama aku tak melayani makan pagi seperti ini, ada kesenangan tersendiri bagiku dan ini membawaku terpengaruh suasana pagi yang ceria itu, meski yang kulayani sarapan pagi itu bukan suamiku, bahkan baru satu jam yang lalu kukenal.
Hampir satu jam kami melakukan acara makan dilanjutkan bersantai sambil nonton Doraemon, acara anak anak kesukaanku, karena berarti itu adalah Hari Minggu, dimana kebanyakan orang berkumpul bersama keluarga, terkadang aku menangis sendirian sambil nonton acara itu, teringat begitu ramai dengan anak anak tetangga kalau Doraemon sudah main.
Kuminta room boy membersihkan meja kamarku, mereka sudah mengenalku, makanya agak terheran ketika melihatku dengan seorang laki laki sepagi ini karena tak pernah ada tamu yang menginap di kamarku, tentu saja tak berani dia mengatakannya.
Sambil nonton kami duduk di sofa yang entah sudah berapa puluh kali kupakai bercinta, kami memang sangat santai saat itu, kukenakan celana pendek dan T-shirt putih snoopy, seperti dulu kalo aku di rumah, sungguh suasananya tidak seperti sedang bekerja, tapi seperti sedang berlibur di hotel bersama suami atau pacar, bahkan kubiarkan rambutku yang masih basah, sengaja tak kukeringkan.
Kusajikan snack seadanya yang ada di kamar dan kubikinkan kopi, sesekali kusuapkan ke mulutnya, aku terbawa suasana santai yang mengharukan. Perlahan tapi pasti tangan Jevon sudah mulai menjamah tubuhku, paha, punggung dan tubuh lainnya, tapi masih dalam batas normal seperti orang pacaran.
Ketika Doraemon sudah habis, dia mulai mencium pipiku, entah kenapa tiba tiba aku merinding dibuatnya, kutoleh dia dan dibalas dengan senyuman manis, dia mengangkat daguku, dipandangnya dalam dalam, dengan lembut bibirnya menyentuh bibirku, mesra sekali dia melumat bibirku, tiba tiba jantungku berdetak kencang, kurasakan sentuhan yang lain saat bibir kami beradu, begitu pula saat lidah kami saling menyapa lembut.
Pagi itu suasana hatiku begitu gembira, terlupa sudah capek semalam, tanganku mulai meraba raba pahanya, begitu juga rabaan tangan Jevon sudah sampai ke dadaku, dia mengelus mesra buah dadaku sambil kami tetap berciuman.
Tak lama kemudian dia melepas kaos yang kupakai, dipandanginya dadaku yang masih terbungkus bra putih, bra polos biasa yang tidak biasa kupakai kalau lagi terima tamu.
“Kamu cantik deh meski tanpa make up” pujinya lalu kembali menciumi pipi dan bibirku seraya memulai remasannya di dadaku. Tanganku mengimbangi remasannya pada selangkangan, sudah tegang, kubuka sabuk dan reslitingnya, kususupkan tanganku ke dalam celana dalamnya dan kuremas remas kejantanannya, dia mendesah sambil menciumi leherku.
Kami saling melucuti pakaian sambil tetap berciuman, sepuluh menit kemudian kami sudah sama sama telanjang, kembali pujian keluar darinya, aku hanya tersenyum dengan sedikit bangga meski aku tak tahu apakah itu pujian tulus atau sekedar basa basi.
Jevon memapahku dan merebahkan ke ranjang, dilepasnya satu satunya penutup tubuhku, kusambut ciuman dan cumbuannya yang penuh kemesraan, tangannya mulai mempermainkan klitorisku ketika mulutnya mengulum liar putingku, aku mendesah nikmat. Ciumannya turun ke perut diteruskan ke selangkangan, dia tidak langsung ke vaginaku tapi justru menciumi paha dan sekitar selangkangan, aku makin mendesah terbakar birahi, jeritku akhirnya keluar tak tertahankan ketika lidahnya menyentuh klitorisku, terasa nikmat sekali, apalagi ketika lidah itu menari nari menyusuri vagina, melayang aku dibuatnya, tak sadar kuremas remas rambutnya.
Aku tak tahan lebih lama lagi, kuminta ber-69 dengan begitu kami bisa saling memberi kenikmatan, hampir aku orgasme duluan kalau saja tidak dihentikan. Dia memandangku dengan senyum puas karena berhasil mempermainkan dan membawaku terbang melayang. Aku sudah telentang menantinya, siap untuk melayani kemauannya, kali ini dengan senang hati, bukan seperti biasanya saat melayani tamu. Kusambut dan kupeluk tubuhnya ketika dia mulai menindihku, ciumannya mendarat di bibirku, sambil saling melumat dia menyapukan kepala penisnya ke vaginaku yang basah.
Aku mendesah tertahan saat penisnya menguak liang kenikmatanku, suatu kenikmatan menjalar dari vagina ke seluruh tubuhku, aku menegang sesaat merasakan kenikmatan itu, dan semakin nikmat dikala Jevon mulai mengocok perlahan penuh perasaan diiringi ciuman mesra, semakin cepat membawaku melayang tinggi. Kujepitkan kakiku ke punggungnya, penisnya semakin dalam mengisi relung vaginaku, meski tidaklah terlalu besar tapi terasa begitu memenuhi ruangan kenikmatan tubuhku, aku mendesah lepas disaat kocokannya makin cepat. Kupeluk erat tubuhnya, apalagi ketika dia menjilati telingaku, aku menggelinjang geli dan nikmat, semakin erat pelukanku.
Kakiku diangkat ke pundaknya, lebih dalam lagi penisnya menyodok, aku menjerit dalam kenikmatan yang tak bisa kugambarkan, terlalu indah permainan pagi ini hingga aku merengkuh puncak kenikmatan begitu cepat. Jerit kenikmatanku mengiringi denyutan otot vagina yang meremas penis Jevon, dia menatapku tajam seakan menikmati expresi kenikmatan dari wajahku, malu juga aku dibuatnya, tapi dia hanya tersenyum melihatku orgasme.
Tanpa memberi istirahat Jevon membalik tubuhku, kuperhatikan dia memasangkan kondom yang bentuknya aneh, tapi tak kuperhatikan lebih lanjut karena dia sudah melesakkan penisnya kembali, kurasakan kenikmatan yang lain dari kondom itu, entah kondom macam apa yang dipakai, bagiku semakin nikmat saja. Kami melakukannya dengan posisi dogie, posisi favoritku biasanya, tapi dengan Jevon aku membenci posisi ini karena tidak bisa melihat wajah tampannya, sodokan Jevon makin keras mengaduk aduk vaginaku, sungguh luar biasa pengaruh kondom itu terhadapku, antara geli, nikmat, sakit tapi semua bercampur menjadi desah dan jerit kenikmatanku.
Semakin keras aku mendesah semakin keras pula dia menyodokku, dan tak lama kemudian akupun mencapai puncak kenikmatan yang kedua kalinya dipagi itu. Jeritan kenikmatanku tak menghentikan kocokannya, justru semakin cepat dan liar gerakannya, maka akupun dengan cepat segera naik kembali menuju puncak kenikmatan. Belum setengah jam kami bercinta tapi aku sudah orgasme dua kali, sementara tamuku belum menunjukkan tanda tanda orgasme, malu aku untuk minta istirahat lagi, kutahan kenikmatan demi kenikmatan, dan orgasme lainnya menyusul tak lama kemudian.
Melihat aku kewalahan menghadapinya akhirnya dia memberiku istirahat lagi setelah hampir 45 menit mengocokku.
“Ih, kamu kuat banget deh, ampun aku” komentarku, dia hanya tersenyum tak menjawab.
Aku telentang mengatur napasku yang masih turun naik menderu, sendiku terasa ngilu.
“Kamu marah nggak kalo aku pakai tali?” tanyanya dengan ragu
“Maksudnya?”
“Kamu kuikat di ranjang, kalau kamu nggak keberatan sih, tapi kalo kamu nggak mau ya nggak maksa kok” jawabnya memelas.
Hampir saja emosiku naik, marah aku dibuatnya, permintaannya aneh bagiku, tapi karena dia minta dengan memelas begitu, apalagi dia telah memberiku kepuasan demi kepuasan, rasanya tak tega aku menolaknya, toh tak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru, tanpa menjawab aku langsung telentang dengan tangan dan kaki terbuka.
Kulihat wajahnya bersinar gembira, segera dia mengambil traveling bag yang tadi dia bawa, dikeluarkannya tali atau lebih tepatnya kain yang dipilin menyerupai tali, mungkin supaya tidak melukai kulit, dengan cekatan dia mengikat kedua tangan dan kakiku ke ke empat kaki ranjang.
Kini aku dalam posisi terikat tak berdaya telentang di ranjang, sungguh pengalaman baru bagiku merasakan ketidakberdayaan dihadapan laki laki yang belum kukenal lama. Dalam posisi terikat kembali Jevon menjamah seluruh tubuhku, diciuminya pipi dan bibirku, menjelajahi seluruh tubuhku, lalu dia mengulum dan menyedot putingku, aku hanya bisa mendesah dan menggeliat nikmat, tak bisa membalas dengan pelukan atau lainnya, tak terasa dengan tidak berdaya seperti ini ada sensasi tersendiri, suatu sensasi dan kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya, antara nikmat dan takut.
Kepala Jevon sudah berada di selangkanganku, kunaikkan pinggulku, dengan liarnya jilatannya menyusuri vaginaku, diselingi dengan kocokan dua jari, aku makin mendesah dan menggeliat tanpa bisa berbuat apa apa, tapi anehnya justru aku merasakan sensasi yang lain yang belum pernah kurasakan. Dia kembali menindihku, dengan sekali dorong masuklah penisnya menembus vaginaku dan dikocoknya dengan cepat. Tubuhku dipeluk erat meski aku tak bisa membalas pelukannya, hanya desah kenikmatan yang bisa kuperbuat.
“Suka?” bisiknya di telingaku, malu menjawab karena memang aku mulai menyukai permainan ini, tapi dia medesakku sambil mengocokku makin keras.
“Bilang suka apa nggak? atau kulepaskan saja talinya”, kocokannya sudah menyodok rahimku semakin dalam dan semakin cepat. Sesaat aku tak bisa menjawab ya atau tidak, aku terlalu terhanyut dalam permainan baru, dia mendesakku terus sambil mempercepat kocokannya.
“Aaahh.. jangan.. jangaan.. jangan dilepas” hampir tak percaya kuucapkan itu ketika dia menghentikan kocokannya dan hendak melepas ikatan.
“OK, let’s the game begin”, katanya lalu dengan kasar dia mencabut penisnya, meninggalkanku yang terikat terbakar birahi setengah jalan menuju puncak kenikmatan, dia mengambil sesuatu dari tasnya.
Aku terkaget ketika dia menunjukkan dildo berwarna hitam legam menyerupai penis dengan accessories di pangkalnya, ukurannya sedikit lebih besar dari rata rata ukuran sebenarnya, tapi bentuknya mengerikan.
“Koh, apaan itu, jangan ah” setengah teriak aku mencegahnya
“Nggak apa, toh tidak lebih besar dari yang aslinya” hiburnya sambil mengusap usapkan ke vaginaku.
“Jangan Koh, aahh.. pakai asli ajaa.. aku.. aku.. nggak .. pernah me.. melakukannyaa.. aahh” protes bercampur desah setelah sebagian dildo itu memasuki vaginaku, jauh lebih besar dari perkiraanku, vaginaku terasa penuh.
“Coba dulu deh.. enak nggak”, bujuknya sambil perlahan memasukkan dildo makin dalam, aku menggeliat, ada rasa nikmat yang aneh kurasakan.
“Aaagghh.. sszz.. oouuww”, suatu kenikmatan tersendiri, terasa aneh tapi sungguh nikmat apalagi ketika dia memutar dildo itu, tak pernah kurasakan sebelumnya, lagian mana ada penis yang bisa berputar, aku menjerit nikmat, dia mulai mengocokkan dildonya, accessories pada pangkal dildo mengenai sisi vaginaku yang lain menambah kenikmatan tersendiri, jeritanku makin keras, tubuhku menggeliat tak karuan dengan tangan terikat seperti ini.
“Sekarang rasakan kenikmatan yang sesungguhnya” katanya, sedetik kemudian kurasakan dildo itu bergetar, kontan saja aku menjerit kaget, kupelototi Jevon yang menikmati expresi aneh wajahku, antara kaget, sakit, nikmat, tidak berdaya bercampur menjadi satu, tubuhku kelojotan seperti cacing kepanasan ditambah lagi dengan ikatan di kaki dan tanganku sungguh suatu siksaan kenikmatan tersendiri, tak pernah kurasakan kegelian pada vaginaku seperti ini.
“Koh, pleaassee.. tolong lepaskan aku.. pleaasessee”, desah dan teriak bercampur permohonan, permohonan untuk melepaskan ikatan bukan untuk menghentikan dildonya karena memang terasa nikmat yang aneh, aku menggeliat geliat tak karuan, tak bisa berbuat apa.
Sepertinya Jevon menikmati geliat tak berdayaku, kulihat sambil mengocok dildo getarnya dia meremas remas sendiri penisnya, sebenarnya bisa aja aku teriak keras minta tolong agar orang diluar kamar dengar, tapi ini sekedar permainan, permainan yang aku sendiri tak tahu harus menerima, menikmati atau menolak. Aku tidak disakiti secara fisik, tapi penyiksaan dalam bentuk lain, suatu penyiksaan sexual, tak tahu harus bagaimana aku menyikapinya, dan tak sempat aku berpikir bagaimana menyikapinya karena dildo itu begitu liar bergerak nikmat di vaginaku.
Ditinggalkannya dildo itu bergetar di vaginaku, dia berdiri mengangkangiku sambil mengocok penisnya dengan tangannya, wajahnya tajam menatapku yang sedang kelocotan merasakan dildo yang bergetar mengaduk vaginaku.Gairahsex.com
Desahanku sudah berubah menjadi jeritan yang aku sendiri tak bisa mengartikan apakah jeritan protes, marah atau nikmat.
Sepertinya dia menikmati ekspresi wajahku yang tidak berdaya, cairan penisnya mulai menetes di dadaku, geliatku makin tak beraturan, makin cepat dia mengocok penisnya dan.. dan.. menyemburlah spermanya mengenai muka, rambut dan tubuhku, aku teriak marah, merasa terhina, tapi dia hanya tersenyum sambil mengusapkan penisnya ke wajahku, memaksaku membuka mulut mengulumnya, terus menyusuri dada, lalu kakiku, tak kuasa aku menghindarinya sebelum meninggalkanku ke kamar mandi, dildo masih menancap di vaginaku, geli kenikmatan berubah menjadi kemuakan tapi tanganku tetap terikat tanpa daya, anehnya tak ada niatan untuk teriak minta tolong atas “pemerkosaan” ini.
Sungguh aku merasa terhina diperlakukan seperti ini, tetesan tetesan sperma membasahi hampir seluruh tubuhku, aromanya begitu menyengat, tak dapat kuhindari beberapa mengalir ke mulutku, aku mencoba menghindar tapi tak ayal lagi kurasakan juga gurihnya spermanya, kuludahkan sperma yang sempat masuk mulutku, perasaan jijik menyelimutiku, kalau saja dia memintaku baik baik untuk mengeluarkan sperma ke tubuhku seperti ini mungkin aku tak keberatan mengingat bagaimana aku tadi terpesona akan penampilannya.
Jevon duduk di sebelahku, diambilnya dildo dari vaginaku tanpa ada tanda tanda melepas ikatanku. Aku menghiba memelas untuk dilepaskan, tapi tak dipedulikan, malahan mengancam akan membungkam mulutku apabila aku teriak sampai terdengar dari luar.
Dia mengambil kain lain dari tasnya lalu ditutupkan ke mataku, semua kini menjadi gelap, aku merasa benar benar tak berdaya, kupikir ini sudah bukan lagi permainan yang menyenangkan, dengan mata tertutup aku tak tahu dia akan berbuat apa lagi terhadapku dan aku tak bisa menduga selanjutnya.
Sesaat tak kurasakan sentuhan atau gerakannya di atas ranjang, entah apa yang dilakukan dikamar ini. Tiba tiba kurasakan sentuhan dingin di putingku, aku terkaget, ternyata dia meletakkan es batu diputingku lalu dikulumnya, dinginnya es menyusur ke perut dan berhenti di vaginaku, aku menjerit tapi ada sensasi erotis tersendiri kurasakan, sedikit kenikmatan, kusesali kenapa dia melakukan dengan cara paksaan seperti ini, padahal belum tentu aku menolak permainan permainannya yang penuh kejutan.
Aku menjerit kaget bercampur nikmat saat kurasakan permainan lidahnya di sela dinginnya es pada klitoris dan vaginaku, kembali kurasakan dildo itu melesak masuk penisku bersamaan dengan jilatannya pada klitoris.
Dia sudah tidak mempedulikan permohonanku meski dengan menghiba minta ampun, sepertinya dia menikmati seperti kucing yang mempermainkan cecak, perlahan kenikmatan mulai menjalar, tanpa kusasari aku mulai menggoyangkan pantatku, tak dapat kuhindari meski aku benci melakukannya tapi aku juga tak ada cara untuk menghindar, asal tidak menyakiti secara fisik maka kubiarkan dia menghina dan mempermainkanku, toh aku sudah biasa diperlakukan secara hina oleh tamuku, meski tidak sekasar ini.
Pinggulku sudah turun naik tanpa bisa kukendalikan lagi, bahkan desahankupun sudah meluncur dengan sendirinya, aku seperti tak bisa lagi mengontrol emosi dan tubuhku, semua seakan berjalan sendiri sendiri mengikuti naluri sexual yang mulai terlatih.
Dia mencabut dildonya, aku menunggu kejutan lainnya dengan harap harap cemas, lama tak ada suara atau gerakan, akhirnya kurasakan dia menindihku dan menyapukan penisnya ke vaginaku, kembali terkaget aku dibuatnya ketika penisnya memasuki vaginaku, terasa begitu besar, panjang, dan kasar menggesek dinding vaginaku, tak mungkin itu penisnya, pasti dia sedang berbuat sesuatu terhadapku. Dengan ganas menciumi leher dan buah dadaku disertai gigitan gigitan ringan pada puting, aku hanya berharap dia tidak meninggalkan bekas memerah di leher dan dada, kalau itu terjadi tentu akan menurunkan “harga jualku”.
“Penisnya” makin cepat mengocokku, rasa aneh yang kurasakan di vagina ternyata membuatku makin tinggi melayang nikmat, dan tak dapat kuhindari ketika aku menjerit orgasme, sungguh memalukan orgasme tapi dalam keadaan marah, napasku tersengal turun naik, antara marah dan nikmat sehabis orgasme. Jevon masih tetap mencium dan mengocokku, justru makin ganas, vaginaku sudah terasa memar dan sedikit perih, mungkin lecet.
Jevon menukar posisi ikatan tanganku setelah melepas ikatan di kaki, posisiku kini tengkurap tanpa ikatan kaki tapi mata tetap tertutup. Terlalu lemas aku untuk melakukan perlawanan, dia menarik pantatku naik hingga posisi nungging, kurasakan lidahnya menjilati vaginaku bersamaan dengan jari tangannya mempermainkan lubang anus, aku bertekad akan teriak apabila dia memaksakan untuk memasukkan penisnya ke dubur, itu sudah menjadi prinsipku bahwa tak akan pernah melakukan anal seks.Gairahsex
Sesaat kemudian dia langsung melesakkan kembali “penisnya” yang aneh itu, kembali rasa nyeri bercampur nikmat menyelimutiku, desahan demi desahan mengiringi kocokannya. Sepuluh menit kemuian kudengar jeritan orgasme darinya, tapi aku terheran karena tidak ada denyutan dari “penis” yang masih meluncur di vaginaku, justru pantatku terasa hangat terkena cairan, dan “penis” itu masih tetap keras tegang bersemayam di vaginaku, aku tak tahu apa yang terjadi.
Suasana sunyi kecuali desah napas kami berdua, dia melepaskan tutup mata dan ikatanku. Aku masih tetap telungkup telanjang, diam saja menahan marah, beberapa pertanyaannya hanya kujawab ya dan tidak. Baru kusadari ternyata saat dogie tadi dia mengocokku dengan dildo yang lain lagi yang diikatkan di pinggangnya, mungkin sambil mengocokkan dildonya dia bermasturbasi di atas pantatku sehingga kurasakan cairan hangat saat dia orgasme. Berkali kali dia minta maaf atas perbuatannya, aku diminta mengerti akan kelainan sexualnya. Tak ada jawaban dariku, tetap diam membisu, aku tak peduli apakah dia marah, tersinggung atau tidak puas.
Dalam hati aku berjanji tak akan menerima dia lagi meski dengan imbalan berupa apapun, cukup sekali aku diperlakukan seperti ini, kali ini mungkin dia hanya mengikat dan mempermainkan dildonya, namun siapa tahu lain waktu dia berbuat lebih jauh lagi saat ada kesempatan dan dengan terikat begitu tentu aku tak bisa berbuat apa apa, hanya pasrah menerima perlakuannya.
Kutinggalkan Jevon saat membereskan “mainannya”, sengaja berlama lama di kamar mandi yang pintunya kukunci, padahal tak pernah aku menutup apalagi mengunci saat mandi. Aku keluar setelah dia hendak berpamitan pulang, biasanya kuantar tamuku hingga keluar pintu kamar sambil masih telanjang atau berbalut handuk di dada, tapi kali ini aku sudah kembali rapi berpakaian lengkap melepas kepergiannya, masih tetap membisu, tak ada bujuk rayu untuk kembali lagi seperti terhadap tamu lain yang telah mempesonaku.
Segera kuhubungi Om Lok, memprotes tamu itu, tapi dia hanya tertawa saja, akhirnya dia adalah orang pertama yang masuk “black list” dalam daftar tamuku, meskipun tip yang diberikan sebesar apa yang kudapat dari Om Lok, tapi resiko dan pengorbanannya terlalu besar.
Cerita sesungguhnya aku potong banyak karena jauh lebih sadis dan mengerikan, ada permainan lilin yang diteteskan ke tubuhku, pisau yang ujungnya dijalankan ke seluruh tubuhku, meski tidak sampai melukai tapi cukup menakutkan. Mungkin pembaca tidak tertarik, jadi tak perlu kuceritakan karena aku sendiri masih trauma dan ngeri saat menulis kisah ini.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,