Pulau Labirin

Pulau Labirin

Pulau Labirin

Comments Off on Pulau Labirin

Sebelumnya nubi mohon maaf jika banyak kesalahan penulisan dan ceritanya agak terburu-buru. Maklum ini baru sempat nulis hari ini tadi demi mengejar Deadline. Semoga suhu semua berkenan sekedar membacanya..

Anya

Rita

Diana

Seorang wanita remaja berjalan tertatih-tatih, keluar dari tempat yang gelap dan pengap itu, suara lelaki tua mengejutkannya. “Selamat, kamu berhasil lolos dari labirin”. Namun wajah wanita itu tidak terlihat senang, bahkan kesedihan dan kemarahan bercampur di sorot matanya. Tanpa banyak bicara dia kembali ke kamarnya, esoknya sebuah kapal menjemputnya pulang.

40 tahun kemudian
Pagi itu, sekitar jam sembilan pagi waktu setempat, sebuah kapal feri berukuran kecil mendarat di satu-satunya pelabuhan yang ada di pulau itu. Beberapa awak kapal membantu penumpang turun dan mengemasi barang bawaan mereka. Kurang lebih sepuluh menit kemudian para penumpang telah menerima barang masing-masing tanpa ada yang tertinggal.

Total hanya ada enam penumpang yang turun dari kapal, tiga laki-laki dan sisanya perempuan. Salah satu awak kapal menunjuk ke arah penginapan sederhana yang terlihat dari sana, memberikan informasi kepada para penumpang yang sepertinya baru pertama kali datang ke pulau itu. Enam orang itu akhirnya beranjak meninggalkan pelabuhan, menuju ke tempat penginapan yang ditunjuk si awak kapal.

Hanya lima menit waktu yang mereka butuhkan untuk sampai ke tempat penginapan. Ukurannya agak kecil dan terkesan tidak terawat, mungkin jumlah kamarnya tidak sampai sepuluh. Begitu mereka masuk ke lobi, suasananya terasa semakin tidak nyaman, kesan tidak terawat semakin nyata dari sarang laba-laba yang menghuni beberapa sudut ruangan itu. Tempat resepsionis kosong, bahkan lampunya tidak menyala.

“Selamat datang di penginapan saya” Entah dari mana datangnya tiba-tiba seorang lelaki tua muncul di belakang mereka. Tubuhnya kurus dan kulitnya penuh keriput, rambutnya yang panjang telah memutih semua dan rontok di beberapa bagian, usianya mungkin sekitar 70-80 tahun.

“Ayo ikut saya” lelaki tua itu berjalan dengan santai menuju bagian dalam penginapan, sementara enam orang pendatang baru itu masih terlihat agak shock, meski akhirnya mereka mengikuti langkah lelaki tua itu.
Lelaki tua itu masuk ke salah satu kamar yang berpenerangan cukup, ada beberapa kursi yang terletak tidak beraturan di sana. Segera saja lelaki itu duduk di salah satu kursi yang ada, kemudian tersenyum memandang enam orang yang masih berdiri di hadapannya.

“Silakan duduk, harap maklum memang begini kondisinya” ujarnya santai, enam orang itu mulai memilih kursinya masing-masing.

“Ini adalah tamu paling banyak yang pernah datang ke sini. Jadi, bisa perkenalkan diri satu-persatu?” tambah lelaki tua itu dengan senyum semakin lebar.

Seorang lelaki paruh baya maju mendekati lelaki tua itu, badannya tinggi dan tegap, kulitnya sawo matang, dan berambut cepak ala militer. Wajahnya terlihat mulai tenang kali ini, dengan lugas dia mengenalkan dirinya.

“Nama saya Bimo, saya tidak percaya mistis atau tahayul, tujuan saya ke sini untuk membuktikan bahwa apa yang digembar-gemborkan oleh orang-orang itu tidak benar”

“Memangnya apa yang dikatakan orang-orang?” lelaki tua itu terlihat tertarik dengannya.

“Bahwa pulau ini memiliki sebuah labirin misterius yang ada penunggunya, jika kita bisa melewati tantangan yang diberikan oleh sang penunggu, maka apapun keinginan kita akan dikabulkan olehnya” jawab lelaki bernama Bimo itu dengan mantap.

“Sungguh jawaban yang sangat lengkap, saya sendiri tidak bisa menjawab selengkap itu dengan kalimat yang singkat. Jadi anda tidak percaya hal itu?” lelaki tua itu kembali bertanya.

“Tidak” balas Bimo singkat.

“Baik, selanjutnya siapa yang mau mengenalkan diri?” lelaki itu kembali tersenyum ramah dan memandang ke lima orang lainnya.

Kali ini satu orang laki-laki dan satu orang perempuan maju bersama-sama. keduanya terlihat berumur tiga puluhan, memakai pakaian yang agak formal dan terlihat mahal. Wanita yang memakai kemben hitam dan dilengkapi kemeja hitam-pink itu pun buka suara.

“Nama saya Anya, dan ini suami saya Anton. Kami sama-sama pengusaha yang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga sampai sekarang belum dikaruniai anak”.

“Jadi kalian percaya dengan mitos mengenai pulau ini dan memutuskan untuk mencoba peruntungan ke sini?” lelaki tua itu kembali bertanya.

“Iya, kek” balas si Anya, sementara Anton hanya diam saja sedari tadi.

“Baik, silakan bergantian dengan yang lain” lelaki tua itu memandang ke tiga orang yang belum maju. Lagi-lagi dua orang maju secara bersamaan, bedanya kali ini mereka bergandengan mesra seperti pengantin baru.

“Nama saya Rita, kek” ujar wanita yang memakai kaos hitam dan celana jeans.

“Saya Rico, kek. Suaminya Rita” sahut lelaki di sebelahnya, wajahnya terlihat paling muda di ruangan itu. Tampaknya dua orang ini memang sepasang pengantin baru.

“Lalu apa tujuan kalian ke pulau ini?” lelaki tua itu menanyakan niat mereka.

“Selain buat liburan, kita juga tertarik buat dapet duit yang banyak” balas Rita ceplas-ceplos, suaminya mengangguk mengiyakan.

“Oh, kalian juga percaya?” tanya si kakek lagi. Keduanya menjawab dengan anggukan kepala, sebelum mundur dari posisinya tanpa disuruh. Menyisakan satu orang terakhir, seorang wanita yang memakai gaun seksi berwarna hitam. Wanita ini paling tinggi dibanding dua lainnya, bahkan hanya kalah tinggi dengan Bimo saja.

“Nama saya Diana, saya ke sini karena saya menyukai hal-hal yang misterius. Saya tidak tertarik dengan apapun yang bisa dikabulkan oleh si penunggu. Saya lebih tertarik dengan fakta dimana semua orang yang datang ke pulau ini ternyata tidak pernah kembali lagi” wanita yang terlihat agak sombong itu mengucap dengan nada datar, namun kalimat terakhirnya membuat lima orang lainnya terkejut, tampaknya mereka belum tahu akan hal itu.

“Luar biasa, baru kali ini ada yang tahu fakta itu namun tetap datang kemari” lelaki tua itu tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. “Baiklah, sesi perkenalan rasanya cukup. Saya sendiri bernama Panji Ulu, namun kalian boleh memanggil saya dengan sebutan apapun” lelaki tua itu menutup sesi pagi itu.

“Silakan pilih sendiri kamar mana yang kalian inginkan, kuncinya ada di pintu masing-masing. Jika kalian mencari saya, silakan tekan bel yang ada di dalam tiap kamar, atau langsung saja ke kamar saya di nomor tiga belas” ujar lelaki tua itu ketika mereka semua telah keluar dari ruangan itu.

Tempat penginapan itu tidak bertingkat, semua kamar ada di lantai itu, begitu juga kamar nomor 13 milik si kakek yang berlokasi tepat di ujung lorong, sementara kamar lainnya terletak di sebelah kiri dan kanan lorong.

“Gaes, aku ada ide, bagaimana kalo kita bareng-bareng ngecek isi tiap kamar, setelah itu baru memutuskan mau pilih yang mana” Bimo tiba-tiba bersuara.

“Nggak, aku ambil yang ini” potong Diana, tanpa ragu dia membuka kamar nomor satu yang berada di paling depan. Setelah memutar kuncinya, dia pun masuk ke dalam beserta barang bawaannya.

“Yang lain gimana?” Bimo masih belum menyerah.

“Boleh deh, buruan yuk” sahut Rita, akhirnya lima orang itu membuka satu-persatu kamar yang ada di sana, kecuali nomor 1 dan 13 tentunya. Tidak ada hal yang aneh di dalamnya, semua kamar memiliki isi yang sama, mulai dari ranjang besar, lemari, dan kamar mandi.
Hal yang aneh justru pada nomor kamarnya. Meskipun kamar milik kakek Panji bernomor 13, namun kamar yang ada di sana tidak sebanyak itu, total hanya ada 7 kamar, yang semuanya ternyata bernomor ganjil. Jadi kamar nomor 1 yang ditempati Diana berhadapan dengan kamar nomor 3, kamar nomor 5 dengan nomor 7 dan kamar nomor 9 dengan nomor 11.

Setelah berbagai pertimbangan, akhirnya Bimo memilih kamar nomor 5, pasangan Rita dan Rico di kamar nomor 3, sedangkan pasangan Anya dan Anton ada di kamar nomor 9. Mereka semua mulai beristirahat, setelah perjalanan laut yang cukup melelahkan tadi.

###

Malamnya, mereka keluar dari kamar masing-masing karena bau harum masakan yang ada di ruang makan. Ruang makan terletak di seberang lobi, di bagian depan bangunan, di sana terdapat sebuah meja besar memanjang yang telah dipenuhi berbagai jenis masakan. Mulai dari makanan pembuka sampai makanan penutup. Kakek Panji sudah duduk di salah satu kursi yang tersedia, tersenyum ramah kepada mereka semua.

“Silakan dinikmati sebelum kembali beristirahat. Besok subuh saya antarkan ke tempat yang kalian tuju” ujar lelaki tua itu kemudian beranjak dari sana.

“Lho, nggak ikut makan kek?” tanya beberapa orang hampir bersamaan.

“Sudah tadi, sudah kenyang” balasnya sembari berjalan gontai menuju kamarnya. “Oh iya, kalau sudah selesai biarkan saja di sana, nanti saya bereskan” tambahnya lagi sambil berbalik sebentar.

Tanpa banyak omong enam orang itu segera menghabiskan hidangan lezat yang ada di hadapan mereka. Apalagi dari siang tadi mereka juga belum sempat makan. Kini hanya terdengar denting sendok yang beradu dengan piring. Sebelum akhirnya satu-persatu meninggalkan tempat itu dan kembali ke kamar masing-masing.

Hanya Bimo satu-satunya orang yang masih ada di sana. Dengan santai dia menyalakan rokoknya dan menikmati kesendiriannya. Apalagi kakek Panji tadi juga membuatkan mereka setermos kopi dan teh, termos teh sudah dihabiskan mereka semua, menyisakan termos kopi yang kini berada di dekat Bimo.

Kombinasi kopi dan rokok bisa membuat penikmatnya lupa waktu, tanpa terasa jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan. Salah satu pintu kamar terbuka ketika Bimo hendak beranjak dari zona nyamannya. Rita keluar dari kamarnya dan agak terkejut melihat Bimo masih ada di sana.

“Lho, masih belum tidur pak?” tanya Rita sopan.

“Ini baru mau balik ke kamar. Kamu sendiri?” Bimo balik bertanya.

“Masih belum ngantuk, tadi siang udah tidur lama soalnya” balas Rita.

“Oh gitu, sini aku temani ngobrol kalo gitu” Bimo tak jadi bangkit dari duduknya. Sementara Rita berjalan mendekat dan duduk di kursi yang ada di dekat Bimo.

“Aku sebenernya takut sama setan-setan gitu, pak. Cuma demi dapetin uangnya ya terpaksa nyobain” curhat Rita tiba-tiba. Wanita itu beberapa kali melihat sekitarnya dan rautnya memang agak ketakutan akibat suasana tempat itu yang mencekam.

“Emang kamu butuh uang berapa? Buat apa?” tanya Bimo menyelidik.

“Banyak pak, buat beli rumah, mobil, dan lain-lain. Kita udah bosen hidup susah terus” jawab Rita terus terang.

“Kalo cuma uang segitu kayaknya ga perlu sampai minta ke setan deh hahaha” balas Bimo sembari tertawa. Sementara Rita bingung dimana letak lucunya.

“Terus minta siapa pak?” ujar Rita.

“5 Milyar cukup nggak?” bukannya menjawab, Bimo malah balik bertanya.

“Ya cukup banget sih pak” balas Rita cepat.

“Oke, ayo ikut aku, aku ambilkan uangnya” Bimo bangkit dari tempat duduknya dan menuju ke kamarnya. Tanpa banyak tanya Rita mengikutinya dari belakang.

Setelah menutup pintu, Bimo membuka salah satu kopernya dan mengeluarkan selembar cek, dengan santai dia menulis angka 5 milyar di sana, sementara Rita terus mengawasi gerak-gerik lelaki itu dari belakang. Begitu selesai, Bimo memandangi Rita dari atas sampai bawah, seolah menimbang-nimbang sesuatu hal.

“Dengan ini kamu ga perlu ikutan ke labirin, bisa santai-santai saja sampai kapal datang” Bimo mengacungkan cek itu ke atas. “Tapi kamu paham kan apa yang harus kamu lakukan buat dapetin ini?” tambahnya dengan senyuman licik.

“Paham, pak” jawab Rita beserta anggukan pelan.

“Oke, ini kamu simpan dulu di kamar, nanti kalo udah siap kamu balik ke sini lagi” Bimo memberikan cek itu kepada Rita. “Kalo kamu nggak balik, aku bisa batalin cek itu kapan aja” tambahnya lagi.
Tanpa berkata apa-apa, Rita keluar dari kamar Bimo dan kembali ke kamarnya.
Rita melihat suaminya yang tengah tertidur pulas, dengan hati-hati dia membuka salah satu tasnya untuk menyimpan cek tersebut. Kemudian dia mengendap-endap keluar dari kamar dan kembali ke kamar Bimo.

Rita terkejut mendapati Bimo telah telanjang bulat, duduk di tepi ranjang. Dengan hati-hati Rita berjalan mendekat, wajahnya memerah melihat pusaka Bimo yang telah menegang. Meski berwarna coklat kehitaman, namun pusaka Bimo mulus tanpa ada rambut di sekitarnya. Sebuah tato tampak menghiasi ruang diantara pusaka dan pusar Bimo, tato bunga mawar berwarna hitam.

“Buka pakaianmu” perintah Bimo tegas. Tanpa perlu diulang, Rita segera melepaskan kaos dan celana jeans yang dipakainya. Menyisakan bra dan cd berwarna hitam. Memamerkan tubuhnya yang mulus dan berwarna kuning langsat.

“Dalemannya juga” tambah Bimo tak sabar. Walau agak ragu-ragu, Rita tetap melepaskan kain yang tersisa di tubuhnya, membiarkan kain itu tergeletak di lantai. Sementara tubuhnya telah polos tanpa ditutup apapun.

Payudara Rita berukuran cukup besar, mungkin sekitar 36C, dengan puting berwarna merah kecoklatan. Sementara daerah vaginanya dikelilingi sedikit rambut kemaluan, sepertinya baru saja tumbuh.

“Jongkok sini” perintah Bimo, menunjuk ke titik di hadapannya. Rita paham maksudnya, dengan agak gontai dia berjongkok di hadapan Bimo dan mulai memainkan pusaka lelaki itu. Tangannya yang halus mengelus pusaka itu dengan lembut, sesekali mengocoknya dari pangkal hingga ujung.

Tidak berhenti di sana, Rita mulai berani memainkan pusaka Bimo dengan mulutnya. Mengulum dan mengocok dengan mulutnya. Tampaknya Rita cukup lihai akan hal itu, terbukti Bimo mulai merem melek keenakan akibat permainan Rita. Bahkan, beberapa menit berselang Bimo mencapai puncaknya, pusakanya menyemburkan cairan kental ke arah Rita, membasahi wajah dan tubuh wanita itu.

“Wah, mantap juga aksimu. Istirahat bentar ya nanti lanjut lagi” ujar Bimo puas, Rita menurut saja dan ikut duduk di ranjang besar itu.

###

Subuh yang dinantikan telah tiba, Bimo terbangun akibat suara alarm dari hapenya. Tubuhnya yang telanjang masih lemas akibat keluar beberapa kali dalam semalam. Meskipun pusakanya gampang mencapai klimaks, namun dia cukup tahan lama dan bisa bangkit beberapa kali. Setelah mematikan alarm, Bimo memakai selimutnya lagi dan kembali tidur, tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh yang lain.

Rita sudah selesai mandi dan membangunkan suaminya, meski masih terlihat mengantuk namun Rico tetap menuju ke kamar mandi, tanpa menyadari perbedaan pada istrinya. Di kamar lainnya, Anya dan Anton sudah bersiap dan merapikan diri, Diana bahkan sudah keluar dari kamarnya dan menunggu di lobi. Beberapa menit kemudian, semuanya telah berkumpul di lobi, kecuali Bimo.

“Ayo kita berangkat duluan, nanti biar dia menyusul” kakek Panji mulai berjalan memimpin rombongan. Mereka berenam berjalan melewati jalan setapak di samping tempat penginapan. Semak belukar dan pepohonan rindang memenuhi area itu. Langit masih agak gelap karena matahari belum menampakkan dirinya. Makin ke dalam makin terasa hawa mistisnya, beberapa orang mulai merinding bulu kuduknya.

Tepat di belakang tempat penginapan ada bangunan yang berbentuk sangat aneh. Bangunan itu berukuran cukup panjang. Hampir dua kali lipat panjang dari tempat penginapan. Namun tidak terlihat seperti rumah ataupun bangunan tempat tinggal lainnya, lebih terlihat mirip seperti penjara. Mereka terus berjalan hingga mencapai ujung belakangnya, yang justru merupakan pintu depannya.

“Sudah sampai” ujar kakek Panji memecah keheningan. Sedari tadi mereka memang hanya diam saja, seolah menghayati suasana sekitar.

“Ternyata dekat ya” Rita yang pertama berkomentar.

“Bukan dekat lagi, ini sih pas di belakang penginapan emang tempatnya” sahut Anya. Mungkin mereka mengira akan jalan kaki cukup jauh, makanya berangkatnya harus bersama-sama, kalau tahu sedekat ini mungkin mereka akan memilih berangkat sendiri-sendiri.

“Setelah dilihat-lihat ternyata tidak terlalu seram ya” kali ini Rico yang berkomentar. Membuat kakek Panji tersenyum tipis.

“Tenang, nanti kalo udah di dalam baru terasa” kakek Panji menimpali Rico, membuat lelaki itu tersenyum kecut.

“Ini masuknya bagaimana?” Diana yang bertanya kali ini. Menanyakan pertanyaan yang krusial dan seharusnya itulah yang ditanyakan sejak tadi.

“Itu ada tiga pintu, silakan pilih sendiri, tapi masuknya satu-persatu ya, jangan langsung bersamaan” kakek Panji memberikan penjelasan. Di saat empat orang lainnya masih mencerna penjelasan lelaki tua itu, Diana telah memilih pintu yang tengah dan masuk ke dalamnya tanpa ada keraguan sedikitpun.

“Oke, tunggu dua-tiga menit dulu ya baru boleh masuk lagi” kakek Panji melanjutkan penjelasan.

“Semuanya ke tengah boleh kek?” tanya Anya bimbang, masuk satu-persatu rupanya membuat dia agak ketakutan juga.

“Boleh, tapi tujuan kalian kan beda-beda. Kalo untuk kamu dan suamimu, saya sarankan ambil pintu yang kanan” jawab lelaki tua itu dengan senyuman ramahnya.

“Kalo kita kek?” kali ini Rita yang bertanya.

“Kalian ambil yang kiri ya” balas kakek Panji tanpa menyertakan alasannya. Sebagai juru kunci daerah itu, tentunya lelaki tua itu lebih paham apa yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan dari sang penunggu labirin.

Anton dan Anya berturut-turut masuk ke pintu yang kanan, setelah itu Rico dan Rita masuk ke pintu kiri secara berurutan juga. Begitu semuanya masuk ke dalam labirin, kakek Panji kembali ke tempat penginapan, tersisa satu orang yang belum ikut serta.

Begitu masuk ke dalam labirin, mereka semua semakin merasakan hawa yang tidak enak. Tempat itu dikelilingi tembok yang terbuat dari bebatuan, beralaskan tanah dan hanya ada penerangan dari obor. Mereka seperti masuk ke dalam gua yang berukuran besar dan gelap. Bahkan cahaya matahari yang mulai muncul pun tidak mengurangi nuansa gelap di dalamnya.

Diana telah mengeluarkan senternya dan menyusuri tiap sudut tempat itu. Namun sejauh apapun dia berjalan rasanya seperti hanya berputar-putar di tempat yang sama. Akhirnya dia memutuskan berhenti sejenak dan memikirkan cara untuk keluar dari tempat itu. Sayangnya tidak semuanya membawa senter seperti Diana.

Anton dan Anya berjalan dengan perlahan karena tidak bisa melihat sekitar dengan jelas. Praktis mereka hanya mengandalkan cahaya obor yang menggantung di tembok, itu pun hanya ada di beberapa titik saja. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan yang agak terang, terlihat ada banyak obor tergantung di sana. Tanpa membuang waktu mereka pun masuk ke dalamnya.

“Apa yang kalian inginkan?” sesosok wanita berambut panjang mengejutkan mereka berdua. Wanita itu berdiri di tengah ruangan, tubuhnya agak bungkuk dan memegang tongkat, rambutnya yang panjang menutupi keseluruhan wajahnya dan beberapa bagian tubuhnya.

“Aa,,anak, nek” balas Anya agak terbata. Dia dan Anton tidak bisa menutupi keterkejutannya, keduanya berdiri kaku di dekat pintu masuk. Keduanya tidak berani memandang langsung ke arah wanita itu.

“Siapa yang mandul?” lagi-lagi wanita bersuara serak itu bertanya, kali ini nadanya agak membentak, seolah sedang memarahi sepasang suami istri itu.

“Tidak tahu, nek” kali ini Anton yang menjawab, ada sedikit ketegasan dalam nada suaranya.

“Kamu, masuk ke sana” wanita itu menudingkan tongkatnya ke arah Anton, kemudian menunjuk ke ruangan yang ada di sebelah kanannya. Namun Anton terlihat ragu-ragu, antara menuruti perintah wanita itu atau tidak.

“Cepat” bentak wanita itu, kali ini kepalanya diangkat sampai rambutnya tersibak dan menampakkan wajahnya. Nenek lampir adalah kata yang tepat untuk menyimpulkan wajah wanita itu. Rasa takut lah yang membuat Anton akhirnya menuruti wanita itu dan masuk ke dalam ruangan yang ditunjuk.

“Kamu ke sana” kali ini si nenek lampir menunjuk ke arah sebaliknya. Tanpa banyak tanya Anya menurut dan masuk ke ruangan sebelah kiri, persis setelah suaminya hilang dari pandangannya.

###

Belum habis rasa takut Anton kepada si nenek lampir, kali ini dia bertemu dengan sesosok wanita lain yang memakai pakaian serba putih dan berambut panjang juga. Ruangan itu berukuran kecil sehingga efek obor membuatnya terlihat lebih terang dari ruangan sebelumnya. Walau takut, Anton tetap berjalan mendekati wanita itu.

“Anda kuntilanak apa sundel bolong?” entah dari mana tiba-tiba Anton bertanya seperti itu, mungkin rasa takut bisa membuat pikiran manusia mati sesaat. Namun wanita itu berbalik dan menunjukkan area punggungnya yang tidak berlubang.

“Oh kuntilanak berarti” sahut Anton lagi.

“Meskipun aku bukan sundel bolong, bukan berarti aku kuntilanak” bentak wanita itu. Anton reflek mundur ke belakang karena kaget.

“Terus kamu ini apa?” tanya Anton lagi, entah apa yang dipikirkan lelaki itu.

“Aku wanita yang akan memberimu anak” balas wanita itu sembari menyibakkan rambutnya. Kali ini terlihat wajahnya yang sangat cantik. Maka Anton dengan senang hati mendekat ke arahnya.

Wanita itu duduk di bawah, beralaskan tumpukan semacam jerami. Anton telah berada di sebelahnya, terus-menerus menatap wajah wanita itu, seolah tidak bisa lepas darinya. Sementara tangan wanita itu mulai merayap ke selangkangan Anton, membuka resletingnya dan mengeluarkan batang Anton yang mulai menegang.

Dengan lembut wanita itu mengusap dan membelai batang Anton, tangannya terasa amat halus dan tubuhnya sangat harum. Anton mulai berani meraba-raba tubuh wanita itu, mengeluarkan sepasang gunung kembar dari balik pakaian putihnya. Anton semakin mendekat dan meremas kedua payudara wanita itu bergantian, sementara si wanita mulai mengocok batang Anton.

Tidak puas hanya meremas, Anton mulai menjilat dan menyedot puting wanita itu, sementara tangannya mulai merayap ke bagian bawah. Beberapa menit berselang, wanita itu tampaknya mulai tidak kuasa menahan rangsangan. Anton didorongnya hingga terkapar di lantai, kemudian wanita itu berjongkok di atasnya.

Batang Anton digesek-gesekkan ke bibir vaginanya, wanita itu mulai melenguh keenakan. Anton semakin berani dan menarik pakaian wanita itu hingga robek dan terlepas dari badannya, menampilkan tubuh telanjang wanita itu. Di saat hampir bersamaan, wanita itu mulai menghujamkan batang Anton ke dalam liangnya. Dengan liar dia bergoyang naik turun mengocok batang Anton.

“Enghh,,legit juga punyamu” racau Anton begitu batangnya dihimpit oleh liang wanita itu, batangnya terasa seperti dicengkram dengan erat.

Gerakan wanita itu makin lama makin cepat, membuat Anton makin tak kuasa menahan pertanda klimaksnya yang semakin dekat. Sekitar dua atau tiga menit kemudian akhirnya Anton melepaskan cairan kenikmatannya, menyembur dengan deras ke liang wanita itu.

Meski merasa lega, namun batang Anton masih berdiri dengan tegak, padahal biasanya setelah sekali keluar batangnya akan langsung menciut seperti kehilangan tenaga. Wanita itu juga masih terus bergerak naik turun dengan irama yang makin cepat. Alhasil Anton kembali merasakan klimaksnya yang kedua akan segera datang.

Hampir satu jam pergumulan itu terjadi, entah berapa kali Anton mencapai klimaksnya, namun batangnya masih tetap seperti sedia kala, meski tubuh Anton terasa sangat lelah luar biasa sehingga dia hanya bisa pasrah menerima goyangan wanita itu.

Perlahan, terjadi perubahan pada fisik wanita itu. Kulitnya yang putih lama-lama semakin memucat. Bau harumnya berganti dengan bau anyir darah. Wajahnya berubah menjadi penuh luka dan matanya memerah.

“Aaaaaahhh” teriak Anton, satu-satunya perlawanan yang bisa dia lakukan, karena tubuhnya sudah tidak kuasa untuk bergerak.

Wanita itu beranjak dari tubuh Anton, sosoknya terlihat menyeramkan kali ini. Begitu dilepaskan, batang Anton seketika menyusut, celakanya lagi batang itu telah berlumuran darah, rupanya beberapa cairan yang terakhir dia lepaskan bukanlah cairan kenikmatan. Dalam hitungan detik Anton pun tak sadarkan diri. Setelah Anton terkapar, wanita itu menghilang dari sana. Namun sesosok berjubah hitam datang dan menyeret tubuh Anton entah ke mana.

Berbeda dengan Anton, Anya yang masuk ke ruangan satunya langsung disergap seorang lelaki bertubuh besar. Rambutnya panjang dan awut-awutan, kulitnya hitam, matanya merah menyala. Lelaki itu bertelanjang dada dan hanya memakai celana kolor berwarna hijau. Dengan tangkas dia mengikat Anya menggunakan tali dan menyeretnya ke sudut ruangan.

“Lepaskan aku” pekik Anya sembari meronta-ronta. Sayangnya ikatan di tangan dan kakinya terlampau kuat untuknya.

“Diam wanita, bukankah engkau ingin punya anak?” desis lelaki itu dengan senyum menyeringai. “Tenang, aku akan membantumu” tambahnya sembari mengusap tonjolan di bagian depan kolornya.

“Tidak, jangan dekati aku” teriak Anya lagi. Namun teriakannya tak berarti apa-apa karena lelaki itu tetap mendekatinya. Tanpa ragu lelaki itu menarik kemeja yang dipakai Anya hingga robek dan terlepas, menyisakan kemben berwarna hitam yang tak mampu melindungi gundukan di dada Anya.

“Wow, besar juga ternyata” lelaki itu menatap dada Anya dengan penuh minat. Sementara Anya terus berteriak-teriak minta tolong sembari meronta-ronta.
Lelaki itu berdiam diri di hadapan Anya. Tersenyum sinis membiarkan Anya berteriak sampai suaranya serak. Setelah dirasa cukup, dengan santai dia melorotkan kemben Anya sampai ke bagian bawah perutnya. Alhasil kedua payudara Anya melonjak bebas di hadapan lelaki itu, montok dan mulus, dengan puting berwarna coklat agak kehitaman.

“Biadab kamu” bentak Anya dengan nafas agak tersengal, suaranya terdengar mulai serak.

“Diam kamu” balas lelaki itu dengan nada lebih tinggi. Bahkan tangannya telah meremas payudara Anya sebelah kanan.

“Lepaskan, jangan sentuh aku” lanjut Anya, masih belum mau menyerah. Justru lelaki itu yang menyerah meladeni jeritan Anya, akhirnya dia melanjutkan meremas kedua payudara Anya tanpa mempedulikan jeritan wanita itu.

Entah kalimat apa saja yang telah dilontarkan Anya, lelaki itu memilih fokus menikmati kedua payudara Anya yang berukuran sekitar 36B, tidak hanya dengan dua tangannya, kini bibir dan lidahnya ikut serta menjamah gunung kembar Anya. Setiap aksi dari lelaki itu dibarengi dengan teriakan Anya dengan untaian kata yang semakin tidak jelas.

Lama kelamaan lelaki itu mulai tidak betah dengan teriakan Anya. Dilepasnya kolor ijo yang dia pakai, membuat batangnya yang di atas rata-rata mengacung keluar. Tanpa ampun lelaki itu memaksakan batangnya masuk ke mulut Anya, dalam posisi Anya berbaring di lantai.

Anya merasa mendapat kesempatan, begitu batang itu masuk di mulutnya, dengan sekuat tenaga dia menggigit batang itu. Tujuannya cuma satu, membuat batang itu terputus dari pangkalnya.

Sayangnya itu bukan batang biasa, saat Anya menggigitnya, batang itu mengeras seperti besi, malah Anya yang kesakitan dibuatnya. Lelaki itu tertawa puas melihat aksi putus asa yang dilakukan Anya. Dengan liar dia menggoyangkan batangnya itu maju mundur ke mulut Anya, membuat wanita itu tersedak sampai gelagapan.

Begitu lelaki itu melepaskan batangnya, Anya tidak lagi berteriak-teriak seperti sebelumnya, dia lebih sibuk untuk mengatur nafasnya. Kesempatan ini dipakai lelaki itu untuk melepaskan celana jeans yang dipakai Anya, beserta celana dalam yang berwarna sama dengan kembennya.

Bibir vagina Anya terlihat begitu tembem, dikelilingi rambut lebat di sekitarnya, membuat lelaki itu semakin tergoda. Kali ini dia membentuk posisi 69, dia di atas, Anya di bawah. Batangnya kembali masuk ke dalam mulut Anya, sementara tangan dan lidahnya mulai menelusuri area kewanitaan Anya.

Kombinasi gesekan tangan dan jilatan lidah lelaki itu sukses membuat bagian bawah Anya mulai becek. Kini lelaki itu mulai memasukkan jarinya ke liang kehangatan Anya. Membuat wanita itu kembali berteriak dan meronta, namun tentu saja suara yang keluar tidak jelas karena mulutnya tersumpal batang lelaki itu.

Sementara itu si lelaki semakin kegirangan memainkan daerah kewanitaan Anya. Jari tengahnya mengocok liang wanita itu, jempolnya memainkan klitoris, sementara lidahnya menjilati area sekeliling vagina. Racauan Anya pun semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya pinggul Anya menghentak ke atas dan keluar cairan kental dari liangnya, merembes pelan membahasi jari lelaki itu.

Setelah Anya mencapai klimaksnya, lelaki itu merubah posisi, kali ini Anya dibuat merangkak di depannya, memamerkan pantat Anya yang sekal. Tanpa membuang waktu lelaki itu segera mengambil posisi doggystyle. Batangnya yang besar bisa masuk dengan lancar ke liang Anya yang sangat becek. Begitu di dalam, baru terasa himpitan dari liang Anya yang cukup kencang.

Lelaki itu segera memacu batangnya maju mundur menghujam liang Anya. Sesekali dia menepuk pantat Anya yang putih dan mulus, membuatnya terlihat kemerahan. Sementara Anya sudah tak lagi berteriak kesetanan, malah mulai mendesah dan melenguh setiap hujaman lelaki itu di liangnya. Tanpa Anya sadari, sesosok berjubah hitam mengawasinya dari balik pintu.

###

Sementara itu, di sisi lain labirin, Rita dan Rico juga bertemu dengan nenek lampir yang sama. Bahkan dia juga memberikan pertanyaan yang sama. “Apa yang kalian inginkan” ujarnya dengan suaranya yang serak.

“Uang yang banyak” jawab mereka berdua bersamaan.

“Apa kalian rela melakukan apapun demi itu?” tanya nenek itu lagi.

“Iya, nek” balas Rico cepat, sedangkan Rita belum sempat menjawab.

“Kekeke dasar manusia. Kamu ikut aku” si nenek menunjuk ke arah Rico, sebelum berbalik menuju salah satu bilik yang ada di sana.

“Aku gimana, nek?” sahut Rita.

“Tunggu di sini aja” balas nenek itu tanpa berpaling. Rico bergegas mengikuti si nenek setelah memberikan isyarat kepada Rita bahwa semua akan baik-baik saja.

Sepeninggal mereka, Rita melihat sekeliling dengan raut ketakutan. Meski ruangan itu lebih terang karena lebih banyak obornya, tetap saja Rita merasa tidak nyaman berada di sana. Akhirnya dia memilih untuk duduk di salah satu bagian lantai yang kering.

Di dalam bilik, yang hanya seukuran bilik warnet itu, terdapat sebuah kursi kayu tepat di tengah bilik. Si nenek memberikan isyarat agar Rico duduk di sana. Meski agak ragu, Rico memberanikan diri untuk duduk dan rupanya terasa cukup nyaman. Dari posisinya duduk, ternyata Rico menghadap ke jendela yang mengarah ke ruangan dimana Rita mereka tinggalkan tadi. Rico bisa melihat dengan jelas posisi Rita yang sedang duduk di lantai.

Si nenek berdiri di belakang Rico, menyentuh leher Rico lembut, lalu tiba-tiba muncul tali di bagian lengan dan kaki kursi. Dengan cepat tali itu mengikat kedua tangan dan kaki Rico sehingga dia tidak bisa bergerak bebas.

“Eh, apa-apaan ini, nek?” Rico mencoba membebaskan diri tetapi ikatan tali itu lebih kuat dari tenaganya.

“Diam, lihat itu di depan sudah mau mulai” bisik si nenek, Rico pun mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat apa yang akan menimpa istrinya.
Rita terkejut dan segera berdiri begitu melihat tiga sosok yang mendatanginya. Tiga lelaki botak dengan postur anak-anak tetapi berwajah dewasa dan agak menyeramkan. Ketiganya malah tertawa melihat Rita yang ketakutan sampai tidak bisa berkata apa-apa, bahkan wanita itu hanya berdiri di sana seolah tidak bisa bergerak.

Tidak butuh waktu lama bagi ketiganya untuk melucuti pakaian Rita. Kaos dan celana jeans Rita sudah berserakan di lantai. Begitu juga bra dan cd berwarna senada yang dia pakai. Menyisakan tubuh bugil Rita yang seolah tanpa perlawanan. Sementara itu, di dalam bilik Rico sedari tadi berteriak-teriak memaki, tidak terima istrinya diperlakukan seperti itu. Namun teriakannya hanya terdengar di dalam bilik saja. Begitu juga suara di luar, tidak terdengar sampai di dalam bilik.

Tiga lelaki botak itu hanya memakai cawet berwarna putih. Begitu selesai melucuti Rita, ketiganya membuka cawet masing-masing dan mengeluarkan senjata mereka yang telah menegang dan berukuran di atas rata-rata. Ukuran batang mereka sungguh kontras dengan tinggi mereka yang semeter saja tidak sampai.

Rita telah dibaringkan telentang di lantai. Satu lelaki berada di atas Rita, menyorongkan batangnya ke mulut Rita. Lelaki kedua di samping Rita, memainkan kedua payudara Rita yang montok dan kenyal. Sementara yang ketiga di bawah Rita, memainkan liang Rita dengan tangan dan lidahnya.

Tanpa banyak bicara ketiganya beraksi bersamaan dan memicu rangsangan di sekujur tubuh Rita. Membuat wanita itu mulai mendesah dan meracau keenakan. Meski tidak terdengar jelas akibat mulutnya tersumpal batang salah satu lelaki botak itu. Di dalam bilik, Rico sudah tenang dan tidak berteriak-teriak lagi, bahkan tampaknya dia juga terangsang melihat adegan itu, terbukti dari bagian depan celananya yang menggembung.

“Tadi teriak-teriak, sekarang malah terangsang” sindir si nenek dari belakang Rico. Namun Rico tidak mendengarnya, dia sedang fokus mengawasi adegan di hadapannya. Sampai tiba-tiba si nenek lampir membuka resleting celana Rico dan mengeluarkan batang Rico yang telah menegang.

“Eh, apa-apaan ini, nek?” kalimatnya kembali terulang. Sementara si nenek malah tertawa mengejek. Tangannya yang kasar dan penuh keriput mulai membelai batang Rico dengan lembut.

“Sudah, lihat ke depan saja” bisik nenek itu sembari mulai mengocok batang Rico. Tidak ada pilihan lain, Rico pun kembali melihat adegan di depannya, daripada melihat nenek itu memainkan batangnya.

Di luar, Rita telah berada dalam posisi merangkak. Satu orang berdiri di depannya, menyodokkan batangnya ke mulut Rita. Satu orang di belakang Rita, menyodok liang Rita dari belakang, sembari menampar pantatnya yang putih hingga terlihat memerah. Satu lainnya bergelayut di punggung Rita, memainkan kedua payudara Rita yang bergelantungan di depan matanya.

Tubuh Rita telah dipenuhi keringat, tenaganya telah terkuras demi melayani tiga lelaki bonsai itu. Sementara belum ada tanda-tanda ketiganya akan berhenti. Malah mereka semakin liar menjamah dan menikmati setiap inci tubuh Rita, membuat wanita itu tidak lagi merasa terpaksa.

Di dalam bilik, si nenek semakin kencang mengocok batang Rico, lelaki itu juga mulai keenakan dibuatnya. Apalagi pemandangan di hadapannya semakin lama semakin panas saja rasanya. Serasa melihat film porno secara langsung, meski pemeran wanitanya adalah istrinya sendiri. Batang Rico mulai merasakan gejolak yang sukar ditahan, namun dia berusaha keras untuk menahannya karena gengsi, bagaimana mungkin dia keluar hanya dari kocokan seorang nenek-nenek.

“Enghh,,ahhh,,ughhh” racau Rita di luar sana. Kali ini dia berada dalam posisi doggystyle, salah satu lelaki botak menghujam liangnya dari belakang dengan liar. Sementara dua lainnya berdiri di sekitarnya, sembari mengocok batang mereka masing-masing.

Beberapa menit berselang, giliran berganti, lelaki botak lainnya memilih posisi woman on top, tanpa ragu Rita menggoyangkan pinggulnya naik turun menikmati sodokan batang lelaki itu. Bahkan Rita meremasi kedua payudaranya sendiri, wanita itu sudah terbuai oleh nafsu birahinya. Sementara dua lelaki lainnya masih mengocok batangnya sendiri-sendiri.

Giliran kembali berganti, lelaki berikutnya memilih posisi doggystyle lagi. Bedanya, kali ini Rita sambil mengocok batang kedua lelaki lainnya. Dengan cekatan Rita mengocok kedua batang di hadapannya, terkadang salah satunya dia oral dengan mulutnya, begitu terus bergantian. Sementara lelaki di belakang Rita semakin bersemangat dan mempercepat sodokannya. Alhasil desahan dan lenguhan Rita semakin menggema di tempat itu.

Di sisi lain, Rico sudah tidak kuasa menahan gejolak di batangnya. Aksi istrinya meladeni tiga lelaki benar-benar membuatnya terbakar cemburu sekaligus birahi, apalagi ditambah kocokan nenek itu di batangnya sehingga membuatnya semakin terbakar. Aksi terakhir yang dilihat Rico adalah saat istrinya di-doggystyle sembari mengocok batang dua lelaki lainnya. Akhirnya dia tak kuasa menahan dan keluarlah cairan putih kental itu dari ujung batangnya. Si nenek tidak tinggal diam dan malah mempercepat kocokannya sehingga batang Rico terus menerus mengeluarkan cairan itu.

“Ahhh, sudah nek, ahhh, hentikan nek, ahhhh” racau Rico akibat kocokan nenek itu yang tidak jua berhenti. Sampai-sampai batang Rico terasa kesakitan akibat terus mengeluarkan cairan itu. Namun nenek itu malah tertawa puas sembari terus mengocoknya. Rico sudah tidak melihat aksi istrinya, dia berbalik dan melihat wajah nenek itu yang berubah menjadi semakin menyeramkan.

“Ampun nek, ampun” teriak Rico sambil meronta-ronta. Namun kursi itu tidak bergeming seolah tertanam di sana. Makin lama batang Rico semakin sakit, sementara kocokan nenek itu nalah semakin menjadi-jadi. Tak lama berselang batang Rico tak lagi mengeluarkan cairan putih, kali ini darah yang mengucur dari pusakanya itu, bersamaan dengan lenyapnya kesadaran Rico. Lelaki itu terkulai lemas di atas kursi.

Sementara di luar Rita masih keenakan disodok bergantian oleh tiga lelaki itu. Entah sudah berapa kali Rita mencapai orgasmenya, yang jelas belum sekalipun tiga lelaki itu menyemburkan cairannya. Batang mereka masih seperti sedia kala, seolah tidak merasakan apa-apa. Rita juga masih belum merasa kelelahan, hanya keringatnya saja yang mengucur deras namun tenaganya seolah tidak habis-habis. Entah sampai kapan mereka bertahan seperti itu.

###

Wanita itu berambut panjang sepunggung, raut wajahnya terlihat sedih ketika mendatangi lelaki itu, sementara si lelaki tampak tidak senang dengan kedatangannya. “Mau apa kamu? Kan sudah kubilang hubungan kita selesai” bentak lelaki itu.

“Aku hamil, mas Anton, kamu harus tanggung jawab” wanita itu mulai menangis.

“Aku tidak peduli, gugurkan saja kandunganmu, lagipula aku sudah dijodohkan oleh orangtuaku, aku tidak ada waktu untukmu” balas lelaki itu ketus, sebelum akhirnya beranjak pergi, meninggalkan wanita itu menangis.

Anton tersadar dari pingsannya, batangnya masih terasa nyeri dan mengeluarkan darah. Mimpi masa lalunya kembali menghantuinya. Dia melihat sekitar, mencoba menerka dimana dia berada sekarang. Sebuah ruangan kecil dengan jeruji besi di bagian depan dan samping, seperti sel tahanan untuk narapidana. Sementara di bagian belakang ada pintu besi besar yang sepertinya terkunci rapat.

“Sudah bangun?” sebuah suara lelaki mengejutkan Anton, dengan reflek dia menoleh ke asal suara dari ruangan di sampingnya, ruangan tahanan yang sama dengan yang ditempatinya, hanya jeruji besi yang memisahkan mereka.

“Siapa kamu?” Anton balik bertanya.

“Tidak perlu kenal siapa aku, tapi kamu pasti kenal nama Lisa kan?” ujar lelaki berjubah hitam itu, membuat Anton terperanjat karena nama itu baru saja hadir di mimpinya.

“Lisa siapa?” lanjutnya pura-pura tidak tahu, sayangnya perubahan nada suaranya tidak mampu dia sembunyikan.

“Oh, tidak kenal ya, kalau yang ini pasti kenal kan?” lelaki itu menyeret tubuh telanjang seorang wanita.

“Anyaaa. Bajingan kau, lepaskan dia” teriak Anton begitu melihat sosok istrinya. Meski telanjang bulat, namun wanita itu memakai penutup di bagian mata dan telinganya.

“Mas Anton, ini kamu mas?” sahut Anya lirih, tangannya teracung ke atas.

“Iyaa, ini aku Anyaa. Bangun Anya” teriak Anton lagi, namun tangan lelaki berjubah yang menggapai tangan Anya, membuat wanita itu mengira bahwa lelaki itu adalah Anton.

“Percuma teriak-teriak, dia tidak akan dengar” lelaki berjubah itu menunjuk ke penutup telinga yang dipakai Anya. Lalu dengan santai dia melepaskan celana yang dia pakai di balik jubah, sembari menggosok-gosok batangnya yang hendak terbangun.

“Bajingan, mau apa kamu?” teriak Anton semakin keras, memahami apa yang hendak diperbuat lelaki itu.

“Sstt, jangan berisik nanti ada yang bangun” lelaki itu memberi isyarat tangan untuk mengejek Anton.

“Bajingan, lepaskan Anya, sini lawan aku kalau berani” Anton semakin tak terkendali, dengan penuh emosi dia memukul-mukul jeruji besi di depannya.

“Ngehamilin cewek tapi gak tanggung jawab, itu yang kamu sebut berani? Asal kamu tahu, gara-gara frustasi akhirnya Lisa memilih bunuh diri. Satu-satunya anggota keluargaku yang tersisa akhirnya meninggalkanku juga, gara-gara selangkangan lelaki bejat sepertimu. Ini balasan yang pantas untukmu” lelaki berjubah itu balas berteriak, bersamaan dengan lepasnya jubah yang dipakainya.

“Bimo?” hanya itu kata yang terucap dari mulut Anton, tentu saja dia tidak bisa membalas bentakan dari Bimo barusan. Malah Anton kembali teringat momen-momen bersama Lisa dulu. Sebelum semuanya berantakan gara-gara hubungan yang kebablasan.

“Ahh, jangan di sini mas, ahh” desahan Anya membuyarkan lamunan Anton. Rupanya Bimo mulai mencumbu tubuh Anya, meremasi payudaranya dan mengelus vaginanya dalam waktu bersamaan.

“Bajingan kau Bimo, lepaskan Anya sekarang, kalau mau balas dendam sini lawan aku” Anton kembali berteriak-teriak sembari menggedor jeruji besi yang menghalanginya.

“Ahh, geli mas, ahhh. Tumben kamu gituin aku mas?” bukan Bimo, justru Anya yang membalas teriakan Anya. Bimo lagi fokus menjilati liang Anya yang mulai becek dibuatnya, wanita itu menggelinjang sembari meremas payudaranya sendiri.

Anton semakin terbakar amarah, berbagai macam kata kasar yang dia ketahui telah dia ucapkan, namun pergumulan di depannya malah semakin seru dan panas. Dalam posisi 69, Bimo masih terus menjilati liang Anya sembari sesekali menyoloknya dengan jari tengahnya. Sedangkan Anya telah asyik mengocok batang besar Bimo dengan tangan dan mulutnya.

“Punyamu tambah besar sekarang, mas” komentar Anya di sela percumbuan mereka, membuat Anton semakin liar dan mulai mencoba merusak jeruji besi di depannya.

“Aku udah nggak tahan, mas. Buruan masukin” desah Anya keenakan, liangnya sudah semakin becek saja. Tanpa ragu Bimo segera menjawab permintaan Anya, dalam posisi standar, Bimo meregangkan kedua paha Anya demi membukakan jalan untuk batangnya. Dalam hitungan detik batangnya yang telah menegang sempurna itu menembus liang kewanitaan Anya.

“Ahh, enak mas, ahh” racau Anya mengikuti irama sodokan batang Bimo di liangnya. Sementara Anton mulai menggedor pintu besar di bagian belakang sel tahanan yang ditempatinya.

“Kalau jadi kamu, aku tidak akan melakukan itu” ujar Bimo tiba-tiba, menanggapi aksi Anton. Bukannya berhenti, Anton malah semakin liar mendobrak pintu itu, seolah menemukan jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya.

“Ahh, cepetin mas, aku mau keluar ini, ahhh” Anya terus meracau bersamaan dengan sodokan Bimo yang makin kencang. Rupanya lelaki itu juga sudah tidak tahan dan hendak mencapai klimaksnya. Tidak lama kemudian, keduanya mencapai klimaksnya masing-masing, meski tidak dalam waktu bersamaan.

Tepat setelah Anya melengking keenakan, Bimo membukakan penutup di mata dan telinga Anya. Dalam sekejap wanita itu shock begitu melihat Bimo yang ada di depannya, dengan cepat dia beringsut menjauh dan mencoba menutupi tubuhnya. Bimo tertawa keras karena cairan mereka berdua merembes dari liang Anya dan berceceran kemana-mana.

Sementara di ruangan sebelah, pintu belakangnya menjeblak terbuka. Anton terjungkal ke belakang karena diterjang oleh sosok yang ada di balik pintu, seekor singa yang berukuran dua kali lebih besar daripada singa pada umumnya. Dalam hitungan menit tubuh Anton telah tercabik-cabik oleh cakar dan taringnya, dagingnya lenyap dalam sekejap, hanya menyisakan tulang-belulangnya saja. Anya dan Bimo hanya terdiam melihat aksi itu dari ruangan sebelah.

Setelah selesai makan, singa pemakan manusia itu kembali ke sarangnya, pintu belakang kembali ditutup rapat olehnya, menunggu ada mangsa yang datang lagi berikutnya. Anya masih shock dan terdiam di tempatnya, dia belum percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Tanpa sepengetahuannya, Bimo telah keluar dari ruangan itu dan meninggalkan Anya sendirian di sana.

“Anya, ngapain kamu di dalam?” sebuah suara wanita mengejutkan Anya. Membangunkan dia dari rasa shock yang dialaminya.

“Dianaaa, Bimo pelakunya, Bimo yang ngelakuin ini semua” pekik Anya begitu melihat sosok yang dikenalnya.

“Tenang dulu Anya, ceritakan gimana kamu bisa di dalam situ?” Diana mencoba menenangkan Anya yang terlihat histeris.

“Panjang ceritanya, bebaskan aku dulu, cari si Bimo” Anya terus berteriak histeris, ketakutan menguasai pikirannya, berulangkali dia melihat ke arah pintu besar di bagian belakang ruang tahanannya.

Oke, tunggu bentar ya tanpa buang waktu Diana segera pergi dari sana, mengandalkan intuisinya untuk mencari Bimo.

###

Bimo telah sampai di tempat Rita digilir oleh tiga lelaki botak yang bonsai. Wanita itu telah terkapar tak berdaya, tubuh telanjangnya dibanjiri air mani yang kental. Bimo melewatinya begitu saja dan masuk ke bilik yang ada di dekatnya. Rico masih duduk di kursi, entah sudah mati atau belum, yang jelas bagian bawah tubuhnya berlumuran darah, sementara si nenek lampir asyik menikmati darah lelaki itu.

Aku tidak akan menyerahkan yang ini desis nenek itu ketika Bimo masuk ke bilik.

Tenang, nek. Aku hanya mengecek saja Bimo tersenyum puas, hampir semua saksi mata telah dibungkam. Tinggal dua orang yang tersisa, satu terpenjara, satunya entah kemana.

Kalau urusanmu sudah selesai, enyah dari sini, carikan aku tumbal yang lain usir nenek itu, dia kembali menikmati hidangan di hadapannya.

Tumbal berikutnya mungkin dari anggota organisasi yang lain, urusanku sudah selesai soalnya. Aku pamit dulu ya, nek Bimo bergegas keluar dari sana, tanpa menunggu balasan dari si nenek yang kembali fokus dengan santapannya.

Begitu sampai di luar, Bimo membawa serta tubuh Rita yang tak sadarkan diri. Lelaki itu berjalan santai sambil menyeret tubuh telanjang Rita, rambut Rita yang panjang membuat Bimo cukup mudah menyeretnya tanpa perlu terkena cairan yang masih menempel di tubuhnya.

“Wanita bodoh, hanya dengan cek palsu dia mau menyerahkan harga dirinya. Eh, sekarang malah tamak dan berharap lebih, ya ini hasilnya yang kamu dapat” komentar Bimo sepanjang perjalanan.

Beberapa menit kemudian, Bimo telah sampai di tempat Anya dikurung. Begitu melihatnya, segera saja Anya berteriak dan memaki-maki, tenaga wanita itu masih banyak rupanya. Namun Bimo tidak menghiraukannya, dia lebih memilih menempatkan tubuh Rita di ruangan sebelah Anya, tempat Anton terbunuh sebelumnya.

Sampai jumpa di neraka ujar Bimo setelah mengunci ruangan Rita.

Jangan pergi kau, bajingan teriak Anya sembari menggoyang-goyang jeruji besinya. Bimo tersenyum puas melihat dua wanita itu terkurung di sana, hanya sisa satu orang lagi.

Sayangnya kepuasan sesaat itu terkadang merupakan sinyal bahwa ada bahaya yang menunggu di belakang kita. Rasa puas membuat Bimo lengah dan meremehkan lawannya yang tersisa, padahal lawan terakhirnya adalah yang paling tangguh diantara yang lain.

Ketika Bimo membalikkan badan, sebilah pisau tiba-tiba menembus perutnya. Entah dari mana datangnya wanita itu, Bimo sama sekali tidak merasakan keberadaannya, namun Diana telah berdiri di belakangnya dan menusukkan pisau belati tepat di perutnya.

Sial komentar terakhir yang dilepaskan Bimo sebelum Diana menghujamkan pisau itu berulangkali ke perut dan dada Bimo. Bahkan seolah belum puas, Diana juga menyempatkan membacok selangkangan Bimo dan memutuskan batang lelaki itu. Tubuh Bimo akhirnya tumbang ke tanah, darah segar mengucur dimana-mana, sebagian terpercik ke tubuh Diana.

Wanita itu seperti pembunuh bayaran yang terbiasa menghabiskan nyawa lawannya. Tanpa ampun dan tanpa kompromi. Setelah membunuh Bimo, dengan sigap dia mencari kunci di pakaian Bimo, tepat di saku celana lelaki itu tersimpan sekumpulan kunci berwarna perak. Tanpa membuang waktu dia segera memakainya untuk membebaskan Rita dan Anya dari tempat itu. Anya segera memeluk Diana penuh rasa terima kasih, kemudian keduanya bersama-sama membopong Rita yang masih belum siuman.

Akhirnya aku mengetahui rahasia tempat ini ujar Diana di perjalanan mereka keluar dari labirin.

Rahasia apa? tanya Anya penasaran.

Tempat ini bukan tempat untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi tempat ini adalah tempat pembalasan dendam orang-orang tertentu. Mereka sengaja mengundang lawannya kemari untuk bisa menghabisinya. Bahkan cara membunuhnya pun ada beraneka ragam, aku sempat mengelilingi tempat ini dan menemukan berbagai macam jenis lokasi pembantaian. Diana menjelaskan panjang lebar.

Ngeri juga ya Anya bergidik mendengar penjelasan Diana.

Banget, tempat ini terasa mistis juga karena banyaknya pembunuhan itu, bahkan beberapa memang dibunuh dengan cara ditumbalkan kepada penunggu tempat ini tambah Diana lagi.

Jangan-jangan, nenek lampir itu penunggu tempat ini tiba-tiba Rita ikut berkomentar, rupanya wanita itu telah sadar dan mendengar percakapan mereka.

Kamu sudah siuman? mereka berhenti sesaat, Anya yang melontarkan pertanyaan itu.

Iya, tapi badanku masih terasa sakit semua balas Rita dengan suara lemah.

Nenek lampir itu siapa? tanya Diana.

Aku juga bertemu dia sahut Anya.

Apa dia juga menyiksamu? Rita balik bertanya.

Iya, aku dan suamiku balas Anya.

Sama, aku juga

Tunggu, nenek lampir ini siapa? tanya Diana lagi, agak sebal karena dia satu-satunya yang tidak mengetahui tentang nenek itu.

Sudah, nggak usah dibahas. Mending kita fokus cari jalan keluar Anya mengalihkan pembicaraan.

Kalo jalan keluar sih aku sudah tahu, makanya aku membawa kita ke arah ini. Tuh tunjuk Diana ke arah pintu besar di ujung jalan. Di atasnya terdapat tulisan Exit dengan warna hijau terang, seperti pintu darurat yang ada di mall-mall.

Kamu memang hebat, Diana. Ayo kita segera keluar Anya berseru senang. Mereka bertiga pun segera membuka pintu itu bersama-sama. Begitu pintu terbuka, pemandangan di depan mereka membuat ketiganya terdiam.

Lorong itu terasa familiar bagi mereka, juga kamar yang ada di sebelah kiri dan kanan mereka. Meski baru semalam, tapi mereka paham benar bentuk lorong tempat penginapan yang mereka tempati. Mereka terus menatap sekeliling, mencoba memastikan bahwa apa yang mereka lihat itu nyata. Namun semakin mereka melihat, semakin mereka merasa yakin bahwa itu memang lorong tempat penginapan mereka.

Brak.

Suara pintu yang tertutup mengejutkan mereka dan secara otomatis membuat mereka menoleh ke belakang. Pintu yang mereka lewati tadi, yang merupakan pintu keluar dari labirin, ternyata pintu masuk kamar nomor 13.

Belum habis rasa shock mereka, tiba-tiba sebuah suara yang familiar mengejutkan mereka dari belakang.

Selamat, sudah berhasil lolos dari labirin kakek Panji Ulu telah hadir di belakang mereka, dengan senyum ramahnya yang khas.

“Kakeeek” Rita berteriak senang melihat sosok yang dikenalnya. “Ternyata Bimo penjahatnya, kek” tambahnya lagi.

“Iya, Bimo memang salah satu anggota organisasi jahat yang memanfaatkan tempat ini untuk kepentingan mereka” balas kakek itu.

“Organisasi apa? Kok aku tidak pernah dengar ya?” sahut Diana.

“Pemuja setan. Mereka lah yang bekerja sama dengan setan-setan yang bergentayangan di labirin dan membuat para setan itu semakin kuat dengan tumbal yang mereka berikan” kakek itu memberikan penjelasan.

“Berarti nenek lampir itu penunggu labirinnya, kek?” kali ini Anya yang bertanya.

“Bukan, wanita itu juga termasuk pendatang, mereka semua dulunya juga berniat mengalahkan penunggu labirin, namun gagal dan malah bersemayam di sana” lanjut si kakek.

“Berarti benar desas-desus bahwa yang datang ke pulau ini tidak ada yang kembali?” Diana mengkonfirmasi dugaannya di awal kedatangan mereka di pulau itu.

“Tidak juga. Dulu, sekitar empat puluh tahun yang lalu, pernah ada gadis remaja yang bisa pulang kembali. Bahkan, gadis itulah yang mendirikan organisasi pemuja setan yang diikuti Bimo” kakek Panji menyanggah dugaan Diana.

“Oh ya? Bagaimana dia bisa kembali?” Diana mulai tertarik dengan cerita si kakek.

“Dia lolos dari labirin sama seperti kalian, kemudian besoknya ada kapal yang menjemput dia” jawaban kakek Panji membuat ketiga wanita itu merasa lega.

“Syukurlah, berarti kita juga selamat nih” ujar Rita kepada rekan-rekannya. Mereka bertiga mulai bisa tersenyum kembali.

“Tapi aku masih penasaran sama penunggu labirin yang asli, soalnya kita belum ketemu kan ya” sahut Anya yang masih ingin tahu.

“Kalo aku lebih penasaran sama wanita yang lolos dari sini dulu” potong Diana.

“Wajar kalau kamu penasaran sama wanita itu” ujar kakek Panji tiba-tiba.

“Kok bisa kek?” Diana kembali bertanya.

“Selain pendiri organisasi, wanita itu juga termasuk wanita paling berpengaruh di negara kita. Dia memiliki anak semata wayang yang jarang ditemuinya, demi keselamatan anaknya itu sendiri” Diana mencoba menerka penjelasan dari kakek itu, tapi masih terasa agak samar.

“Siapa nama wanita iti, kek?” tanya Diana lagi.

“Sebelum kujawab, bolehkah saya tahu nama lengkapmu?” kakek itu malah balik bertanya.

“Diana Rosemary” jawab Diana mantap. Kakek itu tersenyum begitu mendengar jawaban Diana. Seolah itu jawaban yang memang dia tunggu. “Kenapa memangnya?” lanjut Diana.

“Nama wanita itu Eva Rosemary, pendiri organisasi Black Rose” jawaban tegas kakek itu membuat Diana terdiam. Dia tidak pernah menyangka akan mendengar nama ibunya disebutkan di tempat ini.

“Ah, pantesan ada tato mawar hitam di perut Bimo” potong Rita membuyarkan keheningan Diana. Kakek Panji kembali tersenyum.

“Penunggu labirin yang asli adalah entitas yang jauh lebih kuat daripada nenek lampir dan kroni-kroninya itu. Dia sudah ada di pulau ini sejak ribuan tahun yang lalu” kakek Panji memandang Anya untuk menjawab rasa penasaran wanita itu.

“Terus dimana dia? Masih di dalam labirin kah?” lanjut Anya yang makin penasaran.

“Mundur teman-teman” teriak Diana tiba-tiba. Dengan sigap dia menarik lengan dua rekannya itu ke belakang, menjauh dari kakek tua itu. Senyum di bibir kakek itu semakin merekah.

“Keturunan Rosemary ternyata memang cerdas. Tahukah kalian kenapa dulu Eva bisa selamat? Selain karena dia memang cerdas, dia juga masih belum cukup umur, usianya belum tujuh belas tahun, belum matang, rasanya tidak enak bagiku” senyuman kakek itu berubah menjadi seringai lebar.

“Bagimu?” Anya masih belum bisa mencerna kenyataan sebenarnya. Tanpa menjawab pertanyaan Anya, kakek Panji membuka jubahnya dan dari dalam tubuhnya meluncur belasan tentakel raksasa yang segera melilit tubuh Anya dan Rita.

“Meski sudah matang, tapi aku tidak suka bekas orang lain hahaha” kakek Panji tertawa keras. Belasan tentakel melilit tubuh Anya dan Rita semakin erat, sementara Diana terjatuh di lantai dan tidak bisa bergerak, shock dengan pemandangan di hadapannya.

“Arrggghhhh” teriakan Anya dan Rita saling bersahutan. Tak lama berselang darah muncrat dari tubuh mereka berdua yang telah hancur berkeping-keping, seolah habis dilindas oleh kendaraan besar.

Belasan tentakel itu kini bergerak ke arah Diana. Hanya dalam hitungan detik tentakel itu berhasil melucuti pakaian Diana. Kemudian menggantungnya dalam posisi terbalik. Rambut Diana yang panjang pun terurai ke tanah, kaki dan tangannya dibelit oleh beberapa tentakel, membuatnya seperti berada dalam posisi disalib namun terbalik.

Senyuman mesum menghiasi wajah lelaki tua itu, membayangkan kenikmatan tubuh wanita seksi nan mulus di hadapannya. Selanjutnya bagaimana? Terserah anda.,,,,,,,,,,,,,,

PutriBokep

Create Account



Log In Your Account