Cerpen SUATU SAAT DI KUTA BALI

Cerpen SUATU SAAT DI KUTA BALI

Cerpen SUATU SAAT DI KUTA BALI

Comments Off on Cerpen SUATU SAAT DI KUTA BALI

SUATU SAAT DI KUTA BALI

Setengah jam sebelum sunset, aku melangkahkan kaki dari sebuah hotel di Kuta, menuju pantai. Aku memakai celana pendek Cargo, kaos polos dan sandal kulit Sukaregang. Duduk di pasir sambil memeluk lutut. Menikmati senja dan angin yang sunyi. Beberapa menit kemudian. sejumlah turis lokal dan manca negara mulai berdatangan, mereka akan melakukan apa yang tengah aku lakukan. Duduk tenang dan menikmati senja. Ada yang berrombongan, berpasangan tapi tidak sedikit pula yang datang sendirian seperti aku.

Di sebelah kiriku ada seorang turis asing yang datang sendirian, perempuan. Berrambut pendek pirang, mengenakan kaos lekbong putih tanpa memakai BH, celana jeans pendek warna biru pudar dan memakai sandal jepit. Hidung mancung sebagaimana umumnya turis-turis dari barat dengan kulit kecoklatan bekas disengat matahari. Jaraknya sekitar 5 meter dariku. Aku merasa sedikit baper ketika sejenak dia menoleh ke arahku, aku sempat melihat bola matanya biru. Aku tak tahu apakah dia tersenyum atau tidak, sebab tiba-tiba ada sepasang turis jepang datang dan duduk di antara kami. Menghalangi.

Di sebelah kananku, sepasang turis jerman yang sudah tua duduk sambil mengobrol. Di depanku, ada beberapa anak muda dari Jakarta sedikit riuh. Di sana sini orang-orang mulai berdatangan dan memenuhi berbagai spot. Pantai Kuta menjelang sunset memang selalu dipenuhi banyak orang.

Usai sunset, orang-orang mulai meninggalkan pantai sehingga pantai itu menjadi lengang. Tapi aku masih duduk di situ menikmati ombak yang gelap dan hati yang kosong. Langit biru tua itu tak dihiasi bintang-bintang. Bulan pun entah pergi ke mana.

Kepalaku yang sedang penuh dengan kebosanan, meminta agar bintang-bintang itu datang dan menyemarakkan suasana yang diam ini. Aku kemudian menarik botol vodka yang masih penuh dari saku celana cargoku, membuka tutupnya dan menenggaknya dalam tegukkan yang cukup agar hatiku merasa sedikit hangat.

“Kau tidak bisa melakukan hal itu di tempat umum.” Suara seorang perempuan dengan Bahasa Inggris yang fasih dan berlogat mungkin Britain atau Australia, menegurku. Aku menoleh ke arah suara itu dan menemukan perempuan tadi itu ternyata belum beranjak dari tempat duduknya.
“Oh, ya tentu saja, mam. Aku hanya minum sedikit dan tak akan mabuk. Para pecalang tidak begitu suka dengan turis lokal yang mabuk. Mereka akan menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara. Atau membayar denda.”
“Aku mohon kamu jangan panggil aku mam, panggil saja Michelle.”
“Aku Badi. Aku hanya minum sedikit.”
“Kau tinggal di sekitar sini?”
“Tidak. Aku dari Bandung.” Kataku
“Bandung, ha? Paris Van Java.”
“Begitulah orang menjulukinya. Pernah ke sana?”
“Tidak. Mungkin suatu hari. Ke sini untuk bisnis atau bersenang-senang?” Tanyanya.
“Bersenang-senang, kuharap. Kamu sendiri.”
“Bisnis sebenarnya. Sudah selesai hari ini. Tapi aku minta waktu 2 hari kepada perusahaan untuk bersenang-senang di sini.”
“Uh, syukurlah. Beruntungnya dirimu.”
“Well, selalu.” Katanya dengan nada ringan. “Kuyakin kau sudah menikah.”
Aku tersenyum kecut.
“Belum seberuntung itu.” Kataku. Aku menarik botol Vodka dari saku celana dan menenggaknya sekali lagi.
“Cuma seteguk. Kau mau?”Aku menyorongkan botol itu. Dia meraihnya dan meneliti merk dagangnya.
“Tidak buruk.” Katanya.”Mungkin satu kali teguk saja.” Dia membuka tutup botolnya dan menenggak dengan tegukan besar.
“Wow wow, tenang saja.” Kataku. “Kau bisa menghabiskannya secara perlahan jika kau mau. Aku akan membeli lagi.”
“Tidak, tidak. Ini cukup.”

Kami terlibat pembicaraan formal dan remeh. Dia sedikit membicarakan mengenai pekerjaannya sebagai manajer marketing suatu perusahaan multi nasional yang bergerak di bidang alat kesehatan dan berkedudukan di Sydney. Dia berasal dari London, lahir di sana. Tapi dia besar di Australia. Dia tidak menyebutkan dirinya sudah menikah atau belum

Entah apa yang sebenarnya aku rasakan saat itu. Hanya saja aku merasa bahwa kami saling menjaga diri untuk tidak tertarik satu sama lain. Sekitar jam sebelas malam, dia pamitan untuk ke hotel. Dan aku katakan kepadanya, aku masih betah berada di bawah langit malam. Aku memang masih betah. Setelah vodka tinggal setengahnya lagi, barulah aku kembali ke hotel.

Ternyata baru setengah satu.

***
Ketika berbaring di kamar hotel, aku secara aneh tiba-tiba menemukan diriku sendiri sudah berumur 28 tahun. Padahal aku meyakini bahwa aku baru kemarin lulus dari UI. Bangsat! Pikirku. Aku telah dhianati oleh 2 orang.

Pertama aku dikhianati Rina saat menemukannya tengah mengadu vagina di apartemennya dengan Sinta. Mereka telanjang dan bernafsu dan saling mencintai satu sama lain.

Aku terhenyak. Perempuan yang kupacari selama 3 tahun itu ternyata seorang lesbian. Walau dia menjelaskan bahwa bukan aku yang diselingkuhinya, tapi dialah yang berselingkuh denganku.

Kedua, aku dikhianati oleh diriku sendiri. Aku dibodohi oleh pikiranku sendiri kalau aku masih 21. Gila!!!

***
Usai sarapan, aku berjalan-jalan menuju sejumlah toko asesoris dan menemukan produk kerajinan kulit yang kubuat cukup laris dengan harga 5 dolar US untuk kalung, sementara untuk gelang 3 dolar. Padahal harga jual dariku hanya 40 ribu dan 15 ribu rupiah.

Cukup banyak pembeli yang melihat-lihat produk hasil kerajinanku. Termasuk Michele. Saat aku melihat dia tengah meneliti kalung kulit itu, aku seperti mendapatkan kejutan kecil yang menyenangkan.
“Cukup manis kan?” Kataku kepadanya. Dia menoleh dengan setengah terkejut sehingga sepasang bola matanya yang biru itu sedikit membesar.
“Hai, ketemu lagi. Bagaimana malammu?”
“Begitulah. Bintang-bintang itu menjadi para pemalas yang tak mau muncul.”

Dia tersenyum. Cukup manis. Wajahnya agak persegi dengan tahi lalat dekat telinga kiri. Bibirnya terlihat agak pucat. Mungkin dia tak suka pakai lipstik.
“So, kau sedang-sedang melihat-lihat di sini, dan berpikir adakah sesuatu barang yang cukup murah untuk hadiah.” Dia menebakku.

Aku tertawa getir.
“Hadiah? Buat siapa? Mmm… ternyata kau tidak lebih tinggi dari aku.” Kataku menjajarinya berdiri.
“Kau semalam mabuk sendirian, ya? Eh, buat pacarmu misalnya.” Katanya, nadanya ringan.
“Botol itu masih ada sisa setengah. Tidak. Aku tidak punya pacar. Kalung itu kelihatan cocok di lehermu.”
“Ya, mungkin.” Dia meneliti lagi kalung itu. “Ini bagus. Tapi ini umum. Aku sedang mencari barang yang lain yang lebih khas Bali. Kau berencana pergi ke suatu tempat hari ini?”
“Entahlah. Mungkin aku akan menyewa motor seharian dan pergi jalan-jalan ke sekeliling, atau mungkin ke Gili Trawangan atau cuma jalan-jalan di sekitar sini saja.”
“Yang pertama itu bagus. Mungkin aku bisa membantumu dengan duduk di belakang secara gratis.” Katanya dengan maksud bercanda.
“Aku setuju, karena kuduga kau tidak bisa mengendarai motor.” Kataku.
“Tentu saja aku bisa mengendara motor. Asal kunci kontaknya kau pegang.” Katanya.

Aku tentu saja tertawa. Dia juga. Entah bagaimana, tiba-tiba kami merasa cair begitu saja dan aku merasa dia adalah teman yang sudah lama aku kenal.

Aku akhirnya memutuskan menyewa motor untuk sehari dan membawa dia berkeliling ke berbagai tempat dan memutuskan makan siang di Ubud, soalnya dia ingin mencoba nasi padang. Di sebuah restoran yang pernah kukunjungi, kami turun dan pesan makanan. Dia memesan rendang.

Aku sedikit kaget melihat selera makannya yang besar. Dia menghabiskan 5 potong rendang dengan nasi 1 porsi dan segelas besar es jeruk. Wow. Aku sendiri makan sekadarnya, lagi kurang selera mungkin.  photomemek.com Selesai makan, dia menolak ketika aku akan membayar.
“Ini giliranku!” Katanya nada agak tinggi. Aneh sekali, masa mau dibayarin dia merasa kesal. Agak sore kami ke Kuta dan mengembalikan motor sewaan. Di sebuah minimarket, dia membeli empat kaleng bir.
“Apakah kau masih menyimpan botol itu di saku celanamu?” tanyanya.
“Ya. Tentu.”
“Okey.” Katanya. Kami lalu melangkah berrendengan sejajar di pantai dan mencari spot terbaik untuk menyaksikan sunset.

Selama perjalanan dengan motor sesiang tadi, nenennya yang tak dihalangi BH itu beberapa kali menggoda kelelakianku di punggung. Demikian juga ketika berjalan, lenganku tak sengaja beberapa kali menyentuh pinggiran payu daranya. Tapi kelihatannya dia tidak acuh.

Saat kami berjalan berrendengan, seperti disengaja dia mendahuluiku setengah langkah dan gerakan tangannya yang bergoyang ke depan ke belakang itu sepertinya natural, ketika aku mencoba menjajarinya lagi, gerak tangannya yang ke belakang itu tiba-tiba saja menyentuh batang kemaluanku yang lagi menggantung di balik celana Cargoku.
“Ups!” Katanya sambil tertawa. “Aku tidak sengaja.”
“Aku baik-baik saja.” Kataku.

Kami menemukan spot terbaik menurut dia, walau masih terlalu sore, jam setengah 6, tapi kami tak keberatan duduk di situ dan bertukar cerita. Tapi aku tak punya cerita yang menarik untuk dikisahkan. Kukatakan padanya bahwa aku cuma lelaki biasa yang hidup dari mengelola minimarket milik sendiri dan memproduksi kerajinan kulit karena hobby.
“Kau punya minimarket?”
“Ya. Badi Minimarket namanya.” Kataku.

Ketika aku menceritakan kisahku dengan Rina, menurutnya aku tak perlu berpisah dengan gadis lesbi itu.

Aku hanya mengangkat bahu.

“Tunggu, aku punya kisah yang bagus.” Katanya. “Di sebuah taman yang asri di depan halaman sebuah rumah sakit mata terbaik se eropa, di London, pada musim semi yang sedang mekar, ada sepasang kekasih yang sedang berduaan menikmati makan siang mereka. Kemudian, mereka melihat dari arah rumah sakit, ada dua orang lelaki ayah dan anak berjalan memasuki taman. Anak lelaki itu berumur sekitar 24 tahun dan ayahnya, mungkin sekitar 55 tahun. Anak lelaki itu terlihat sangat kekanakan. Sepasang kekasih itu mengernyitkan kening.
“Ayah, lihat itu… langit biru, ayah itu awan bagus sekali… oh ayah lihatlah pepohonan dan itu taman… lihatlah ayah… hay, ada kupu-kupu… aduuhhh rumput ini bagus sekali…” Ketika sepasang ayah dan anak itu mendekati sepasang kekasih itu, si cowok berkata.
“Tuan, semestinya tuan berbuat sesuatu untuk pria kekanakan ini.”
Si ayah memandang mereka sambil tersenyum.
“Anak muda, kau tidak akan tahu rasanya bagaimana menjadi buta selama 20 tahun, lalu bisa melihat kembali dunia yang penuh warna.”
Kontan si cowok itu terdiam dan kekasihnya segera memeluknya dan menciumnya.”

“Indah sekali ceritanya, inspiratif.” Kataku. Dia tersenyum.

Setelah sunset berakhir dan orang-orang banyak yang meninggalkan pantai, kami masih duduk berdua di situ dan kehabisan cerita.

Aku berani bersumpah, aku tidak tahu siapa di antara kami yang memulai duluan, ketika kami saling menoleh tiba-tiba saja kami saling berciuman di bibir. Kami saling pagut dan merasakan sensasi kami masing-masing. Dia sangat piawai dalam memainkan bibir dan lidah, membuatku sesak nafas.
“Apa yang telah kau lakukan?” Kataku melepaskan diri dari kuluman bibirnya.
“Kau pembohong kalau tidak menyukainya.” Katanya, sepasang mata birunya tampak nanar.
“Aku sangat… “
“Kau terangsang ya?” Tangannya kemudian dengan sengaja memegang batang kemaluanku dari luar celana. “Bodohnya aku. Kamu mungkin sudah setahun tak mendapatkan sex.”
“Michele, entahlah, aku ragu.”
“Badi, mungkin sebaiknya kita ke kamarku. Aku menginginkannya jika kau mau.” DIa tiba-tiba menarik tanganku dan menuntunku menuju ke hotelnya. Aku menurut. Setiba di kamar, entah bagaimana, moment romantis itu menghilang begitu saja.

Tampaknya dia juga merasakannya.
“Harusnya kita tadi bercinta saja di pantai, sekarang moment itu hilang.” Katanya.
“Tapi itu tempat umum. Mungkin kita akan menjadi tontonan orang?”
“Apa salahnya? Kau malu?”
“Michelle… aku merasa kurang nyaman.”

Selama beberapa saat itu kami terdiam. Kami berdiri di balkon memandang lautan.
“Ada sesuatu yang kosong dalam dirimu, suatu kehampaan. Lalu kau mengisinya dengan minuman itu.” Katanya. Dia meraih Vodka yang tinggal seperempatnya. Dia menenggaknya dalam tegukan besar.
“Setiap kali pulang kerja, kau menemukan ruangan apartemen itu terlalu kecil untuk dirimu. Tapi terlalu luas untuk hatimu yang hampa. Kau berharap ada seseorang di sana yang memelukmu, yang berbagi cerita denganmu, yang mengelus kucingmu dan mengewenya dengan kelembutan dan keperkasaan… apakah itu berarti kau kesepian?” Katanya. Dia menenggak vodka itu hingga habis.
“Ya, itu kesepian.” Kataku. “Kau seharusnya jatuh cinta kepada seseorang.”
“Jatuh cinta? Oh, Tuhan, Badi. Bahkan aku merasa aku tak mencintai diriku sendiri.” Katanya. “Apakah menurutmu aku cantik?”
“Tentu saja.” Kataku. “Kau memiliki mata biru yang indah.”
“Tapi aku pendek.”
“Mungkin, tapi proporsi tubuhmu seimbang. Tubuhmu seksi.” Kataku.

Aku mendekatinya dari belakang dan memeluk perutnya, kedua tangannya mengeratkan pelukanku.
“Kamu cantik dan kamu seksi, aku ingin bercinta denganmu malam ini.” Bisikku pada pada telinganya.
“Aku juga.” Katanya.

Aku kemudian menciumi telinga, leher dan pundaknya. Kedua tangannya mendorongku untuk meraup ke dua susunya yang menggembung. Aku meremasnya dengan lembut. Dia merendahkan badannya ketika mulutku mencari lehernya dengan mulutku, menyusuri bagian bawah dagunya dan menemukan bibirnya.

Kami pelahan bergerak mundur mendekati tempat tidur sambil berpelukan. Ketika menemukan bibirnya dan kami berpagutan, jari-jariku menemukan puting susunya dan memilin-milinnya pelahan. Lalu kembali meremas dari bagian pinggir, meraba-raba perut dan pinggangnya dan melepaskan kancing celana pendeknya dan menjatuhkannya ke kakinya. Ternyata dia tak memakai celana dalam.

Setelah dia merasa cukup dengan ciuman bibir, dia menjauhkan wajahnya dariku. Melepas kaosnya lalu berbaring di ranjang.

Aku melepaskan kaos dan celana cargoku, celana dalam belum kuturunkan. Aku berjalan dengan lutut di atas ranjang untuk menunduk dan mengisap puting-puting susunya. Tangannya membimbing tanganku menuju kucingnya yang cantik. Aku mengusap-usap belahan kucingnya yang masih kering.

Setelah beberapa lama, dia mendorong kepalaku ke bawah. Saat kuciumi bagian perutnya dan pusarnya, dia menggelinjang. Lalu kuciumi pangkal-pangkal paha dan pubisnya yang berbulu lembut. Dia mengerang pelahan.
“Jilat memekku.” Katanya lirih.

Aku turun dari ranjang dan berdiri di lantai, menghadapinya yang tengah berbaring telanjang.
“Apakah kau benar inginkan aku melakukannya?” Kataku sambil menatap matanya. Dia melawan tatapanku, sorot mata birunya terasa lembut.
“Ya, lakukanlah.” Katanya. Dia merenggangkan ke dua pahanya dan memperbaiki posisi berbaringnya dengan lebih nyaman. Selama beberapa saat aku memandangi memeknya yang membisu.

Ini adalah pertama kalinya aku berhadapan langsung dengan memek seorang bule. Kelentitnya menonjol di atas belahan bibir-bibir berbulu halus di pinggirannya. Aku telah diajari Rina bagaimana memperlakukan dan memuaskan keinginan memek perempuan dengan jilatan.

Pelahan aku menyusuri paha bagian dalam dekat lubang pantatnya, lalu berkeliling di sekitar daerah V nya. Menyisir pinggiran bibir-bibir luar dengan lidahku agar merekah bagian dalamnya. Setelah merekah, aku menjulurkan lidah ke bagian dalam bibir-bibir memek bagian dalam hingga terasa ada cairan asin yang menetes.
“Ya, itu di situ.” Katanya. Pelahan dan sabar aku terus melakukannya, membeliakkan bibir-bibir memek bagian dalam untuk melihat liang daging memeknya yang berwarna merah pias, menjulurkan lidah ke dalam liang itu sampai dia mengerang pelan.

Lalu kulihat itilnya yang mulai menongol tegang. Kujilati kelentitnya dengan lembut.
“Ya, itu. Tepat di situ.” Katanya. Dia kemudian menjerit-jerit ketika aku mulai mengemutinya dan dan menguluminya. Dia menggelinjang-gelinjang dan akhirnya menjerit nikmat.
“Aku keluarrrr…” Katanya. Aku melepaskan kuluman pada itilnya dan berdiri. Kulihat dia terpejam dan dadanya turun naik. Nafasnya sedikit tersengal. Bibir-bibir memeknya mulai menutup kembali. Pada pucuk memeknya yang berbentuk V itu mengalir deras lendir kenikmatan, merembet menyusuri jalur dan membasahi lubang pantatnya yang berkedut-kedut.

Aku lalu berbaring di sisinya dan menolehnya ke arahnya yang masih tengadah ke langit-langit.
“Kau menyukainya?” Tanyaku. Dia diam sejenak. Lalu pelahan dia menoleh ke arahku dan mata birunya memandaku dengan lembut. Bibirnya tersenyum.
“Sangat.” Katanya. Aku lalu memeluknya dengan erat dan mencium kening dan matanya. Beberapa detik kemudian dia melepaskan pelukanku dan duduk. Dia melepaskan celana dalamku dan melemparkannya.
“Kontolmu belum bangun.” Katanya.
“Tadi sore sudah, tapi sekarang dia setengah tidur.” Kataku.

Dia mengelus batang kontolku dengan lembut.
“Kontolmu besar dan indah.” Katanya. Lalu dia mengulumnya pelahan. Kehangatan mulut dan bibirnya yang mengulum batang kontolku membuatku mengerang.
“Ho ho ho… langsung bangun.” Katanya. “Kontolmu harum dan enak.” Katanya sambil mengemutnya dan mempermainkannya dengan lidah.

Aku mengerang.

“Apakah dia ingin masuk menyelam dan berkelana di dalam liang memek ini?” Dia bertanya. Aku diam saja karena sibuk mengerang. “Aku tak perlu jawaban karena dia pasti menginginkannya.” Katanya lagi.

Dia kemudian mengangkangiku dan memasukan kontolku ke dalam liang memeknya. Dia mendudukiku selama beberapa saat dan kemudian dia menggenjotnya. Kedua telapak tangannya menekan dadaku dan kupegangi kedua pergelangan tangannya agar tak terlalu keras menekan.

Dia terus menggenjot kontolku tanpa bisa dihentikan. Dia berhenti sebentar untuk menekan dan menggesek-gesekkan bibir-bibir memeknya ke pangkal kontolku. Lalu dia menggenjot lagi. Berhenti sejenak untuk menggesek-gesek dan menggenjotnya lagi dengan membabi buta. Dia sama sekali tak memberiku kesempatan untuk melakukan hal yang lain. Bahkan mulutku tak sanggup meraih kedua susunya yang indah bergoyang-goyang ketika dia menggenjotku.

Dia mengeluh dan mengerang-erang sendirian di atas tubuhku. Setelah sekitar 15 menit, dia berhenti dan kedua tangannya menekan dadaku dengan sangat keras, sementara itu bibir-bibir memeknya dia tekan dengan sangat kuat ke pangkal kontolku. Dia gemetaran dan kejang-kejang.
“Akkhhuu…keluaarrrrrhhh…. hhh…” Katanya. Tubuhnya lunglai dan jatuh menimpaku. Kurasakan suatu cairan hangat membasahi pelir dan pangkal pahaku. Kudengar jantungnya berdegup kencang dan bibir-bibir memeknya berkedut-kedut di batang kontolku. Aku sebenarnya hampir ke luar bersamaan dengannya. Tapi dia mendahuluiku. Cepat kucabut kontolku dari kuluman memeknya dan meletakkannya di belahan pada bibir-bibir memeknya. Kutekan pantatnya dengan kedua jemari tanganku saat aku menyemburkan pejuhku dengan kurang sempurna. Tapi tetap enak. Pejuhku menyembur pada perutnya dan perutku sendiri.

“Ini indah.” desisnya lembut. Matanya terpejam dan senyumnya tersungging kecil. Aku memeluknya dan mencium keningnya. Ketika kudengar bunyi dengkurannya yang lembut, pelahan aku melepaskan pelukan. Memperbaiki posisi tidurnya. Menatap wajahnya yang cantik. Lalu mengecup keningnya sekali lagi.

Setelah mengenakan pakaian, aku menulis catatan dan kuletakan di meja buffet kamar hotelnya.

Ranjangnya terlalu kecil untuk berdua. Jadi aku hanya bisa menatap wajahmu sebentar yang lelap bagai bidadari. Aku kembali ke hotel Sukmajaya. Menginap di kamar 208. Ini nomor ponselku 081123456789 jika kau ingin menghubungiku.

Badi.

***
Aku bangun agak siang ketika I Nyoman Narto dan Hardi menelponku dari Lobby. Mereka mengajakku makan siang di resto hotel dan membicarakan bisnis. Dua orang inilah alasanku sebenarnya mendatangi pulau dewata ini, sekalian berlibur melepaskan rasa penat dan jenuh.

Mereka menjelaskan kalung dan gelang hasil produksiku cukup menjanjikan. Tapi mereka juga memiliki rumah produksi kerajinan dan membutuhkan bahan baku kulit yang baik.
“Jadi kalian membutuhkan bahan baku ya? Aku bisa sediakan yang terbaik.”
“Tapi harganya jangan kemahalan.” Kata Narto.
“Aku jamin kalian mendapat harga terbaik.”

Kami berbincang sekitar 2 jam dan mencapai beberapa kesepakatan. Selesai bersalaman, mereka pamit. Hari sudah siang menuju sore, pukul setengah 2. Ketika hendak pergi meninggalkan meja, Michelle tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh dan tersenyum.
“Aku tidak bermaksud menguping. Kalian berbicara dengan bahasa Indonesia yang tidak kupahami selain sedikit. Bisnis ha?”
“Kau sudah makan atau mau? Ya, bisnis. Berjalan dengan baik.”
“Tadinya. Aku merasa tidak lapar bila mengingat apa yang terjadi semalam.”
“Oh, begitukah? Apakah kau menyesalinya?”
“Ya ampun, Badi. Semalam sangat indah dan aku tertidur bagai bayi. Aku hanya merasa aku sedikit egois. Apakah kamu menikmatinya?”
“Ya, aku menikmatinya.” Kataku datar.
“Kita jalan sebentar, yuk?” katanya, dia kemudian meraih tanganku dan membawaku ke pantai. Duduk di bawah sebuah tenda payung yang kebetulan kosong dan memesan softdrink.
“Aku sejujurnya ingin menghabiskan malam ini bersamamu ke tempat yang sepi dan bercinta. Tapi pekerjaan mengharuskan aku ada di Melbourne besok pagi. Mereka sudah mengirimku tiket dan aku akan terbang jam 4 sore ini.”

Dia menatapku dan dengan tatapan itu dia ingin meyakinkanku bahwa dia bersungguh-sungguh.
“Jadi kau akan pergi?”
“Ya.”
“Malangnya diriku. Padahal aku mengira aku sedang jatuh cinta pada mata birumu. Aku pasti akan merindukanmu.”
“Aku juga.” Kataku. Kami berciuman sebentar.

Aku kemudian mengantarnya ke Bandara Ngurahrai. Sebelum akhirnya kami benar-benar berpisah, kami berpelukan dan mungkin kami akan saling merindukan.
“Hubungi aku,ya.”
“Pasti.” Katanya.

***
Malamnya dia mengirimiku Video melalui Whattapps.
“Aku kangen kamu.”
“Aku juga.” Balasku.

Keesokan paginya aku terbang ke Jakarta lalu ke Bandung menggunakan mobil travel. Apes bener diriku ketika HP yang kusimpan di dalam tas telah hilang entah ke mana. Aku benar-benar terlambat menyadarinya dan menjadi setengah gila.

Selama berbulan-bulan aku menyesali kehilangan HPku itu dan akhirnya bisa melupakannya setelah satu tahun berlalu. Aku telah membunuh harapanku untuk bertemu lagi dengannya.

***
Dua tahun berlalu dan aku telah benar-benar melupakan Michelle.

***
Aku sedang berada di kamar kerjaku di lantai 2 minimarket, ketika Pak Wawan pegawai seniorku mengatakan ingin bertemu.
“Ada apa, Pak?” Tanyaku kurang senang, aku sedang sibuk.
“Ada seorang pelanggan yang menuduh bahwa obat-obatan yang kita jual telah kadaluarsa dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Dia ingin bertemu dengan bapak kalau tidak dia akan melaporkannya ke polisi.”
“Usir saja. Bodo amat dia mau lapor polisi atau lapor ke hansip. Kita tak melakukan kesalahan.”
“Tapi pak…”
“Usir. Aku lagi sibuk.”
“Pak, maaf pak. Kami sudah coba, tapi mungkin dia kurang paham. Kami tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik.”

Aku tercenung.
“Maksudmu, pembeli itu bule?”
“I ya Pak. Perempuan.”

Aku segera meloncat dari kursi dan menuruni tangga untuk masuk ke toko lewat gudang.
“Aku tahu toko ini kamu pemiliknya.” Katanya dengan senyum lebar.

Aku berteriak histeris dan memanggil namanya.
MIIICHEEELLLEEEE….

THE END

CATATAN
Setelah beberapa kali menelpon dan tak menjawab, Michelle merasa kesal dan marah. Dia sedih mengapa aku tak pernah membalas pesan dan telponnya. Dia akhirnya melupakanku dan mencoba menjalin hubungan dengan beberapa pria. Tapi entah mengapa dia merasa kurang merasa sreg. Akhirnya hubungan-hubungan itu gagal. Suatu saat dia iseng googling nama Badi Minimarket, ketemu. Tapi dia butuh waktu lama untuk bisa pergi ke Bandung dan menemukanku. Dia kemudian paham ketika kujelaskan bahwa HPku hilang dicuri orang.

Selama seminggu liburan di Bandung, dia tinggal di rumahku dan kami bercinta setiap hari tanpa lelah. Kemudian dia pulang ke Sidney dan kami terus berkomunikasi secara intens. Sayangnya takdir menghendaki lain, dia mengalami kecelakaan lalu lintas yang merenggut jiwanya. Mobilnya ditabrak oleh seorang pengemudi mabuk sialan. Walau hukum di Australia sudah menghukumnya dengan berat, tapi itu mustahil mengobati luka hati dan hidupku.

Semua dialog asalnya dari bahasa Inggris yang aku terjemahkan menurut kehendakku. Beberapa nama, termasuk namaku dan Michelle adalah bukan nama asli. Tetapi yang lainnya adalah asli.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

PutriBokep

Create Account



Log In Your Account